Sabtu, 02 Juni 2012

Penjual Garam yang Menangkap Rubah


Zaman dahulu, di suatu desa, terdapat seorang pemuda miskin yang hidup dengan menjual garam. Setiap harinya, ia memanggul satu kantung garam, lalu berkeliling dari desa ke desa menjual garam. Pemuda itu menjual garamnya dengan rajin berkeliling ke desa-desa di pegunungan.
Suatu hari, ia membawa satu kantung garam, namun tak ada yang membeli sehingga ia duduk kelelahan di pinggir jalan dan beristirahat. Ia berpikir, apa sebaiknya pulang saja ke rumah karena ia begitu kelelahan dan kakinya juga sakit.
Saat itu, terdengar suara yang aneh. Terdengar suara tawa dan suara obrolan yang seru. Pemuda itu dengan cepat beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, berjalan menuju arah selatan. Namun, ia tak melihat apapun.
Diam-diam, ia mencari tempat sumber suara. Tempat itu jauh di tengah hutan. Namun, di tempat itu pun tak terlihat orang. Pemuda itu duduk, lalu mengamati lagi tempat sumber suara. Suara itu muncul dari sebuah makam. Oleh karena itu, diam-diam, ia berjalan menuju ke arah pemakaman.
Di sana terlihat hal yang aneh. Tidak terlihat adanya manusia, yang ada bahkan sesosok hewan buruk rupa aneh yang sedang menggali makam. Setelah menelisik diam-diam, ternyata itu adalah hewan rubah.
Tiba-tiba, muncul niat untuk menangkap para rubah itu sehingga, ia terus mengamati gerak-gerik para rubah itu dengan diam-diam. Hewan rubah itu ada dua ekor, mereka mengeluarkan tengkorak kepala dari dalam makam. Lalu, memakaikannya di kepala seraya tertawa “Hihihi...,”. Suara itu terdengar persis seperti manusia yang sedang tertawa.
Pemuda itu membawa sebuah pentungan kayu. Ia berniat menggunakan pentungan itu untuk memukul rubah. Para rubah menggali makam sambil bermain-main. Setelah itu, mereka beranjak dari tempatnya dan bersiap-siap pergi ke suatu tempat. Pemuda itu pun ikut beranjak dan mengikuti merka dari belakang dengan tekad yang kuat. Setiap hari, ia mencoba berjualan garam ke mana-mana, tapi tak juga mendapat uang. Oleh karena itu, ia bertekad setidaknya dapat menangkap rubah.
Para rubah itu masuk ke desa. Pemuda penjual garam pun mengikuti mereka dari kejauhan. Di mata orang biasa, mereka sepertinya tak terlihat sebagai rubah.
Para rubah datang mencari rumah duka yang salah seorang anggota keluarganya baru saja meninggal di desa. Di sana orang-orang begitu ramai. Namun, tak ada satupun yang melihat keanehan wujud para rubah. Mereka masuk ke dalam rumah duka, lalu mengucapkan rasa belasungkawa kepada keluarga yang sedang berduka. Para rubah itu mengikuti seorang yang memberi tahu jalan dan arahan untuk masuk ke dalam rumah duka. Penjual garam pun mengikuti dari belakang sampai di tempat para rubah kini berada.
Di rumah duka, orang-orang yang datang untuk mengucapkan belasungkawa mendapatkan jamuan yang baik. Para rubah pun mendapat hidangan kue teok (kue beras khas Korea) dan sul (arak khas Korea). Tanpa basa basi, mereka langsung melahap hidangan itu. Di mata penjual garam itu, tidak salah lagi, wujud mereka terlihat sebagai rubah, tapi mengapa orang-orang memperlakukan mereka sangat sopan seperti tamu bangsawan terhormat. Hal itu sangat aneh. Orang-orang itu memperlakukan mereka lebih dari orang biasa. Lagipula sebenarnya, jamuan yang pemuda itu dapatkan pun sedikit di luar dugaannya.
Penjual garam itu menunggu saat yang tepat. Di saat yang tepat itu, ia berniat dengan sungguh-sungguh untuk menangkap rubah itu. Oleh karena itu, ia datang dengan membawa pentungan kayu yang disembunyikan.
Setelah selesai makan, para rubah bergegas bangkit dari meja makan. Penjual garam pun dengan cepat ikut bangkit. Tepat saat para rubah hendak masuk ke sarangbang (kamar cinta), penjual garam memukul bagian belakang kepala rubah itu menggunakan pentungan. Para rubah langsung terhempas jatuh dan orang-orang ramai berteriak seraya mendamprat ke arah penjual garam, “ Ada orang mati! Tangkap laki-laki itu!”    
Walaupun begitu, penjual garam terus memukuli rubah sambil mengancam orang-orang dengan pentungan. Saat itu, para rubah melarikan diri ke pekarangan. Dua ekor rubah yang sampai detik itu masih terlihat sebagai bangsawan terhormat, jatuh terguling-guling di pekarangan. Orang-orang menjadi bingung. Apakah yang sebenarnya terjadi.
Seorang gadis muda mendekat lalu bertanya kepada penjual garam,
“Maaf, sebenarnya apakah maksud semua ini?”
“Aku mengikuti mereka berdua dari dalam gunung di sana sampai ke tempat ini. Mereka adalah rubah yang menggali makam lalu memakan mayat manusia dan berbahaya bagi manusia. Namun, kau tak tahu apapun dan memperlakukan mereka sebagai tamu...,”
Orang-orang terlihat mengerti dengan kata-kata pemuda penjual garam itu. Semuanya menampakkan wajah ketakutan.
“Di mata kami, wujud mereka itu terlihat sebagai manusia. Bagaimana bisa di matamu terlihat sebagai rubah?”
Pertanyaan dari seorang pemuda itu sangat luar biasa bagus. Sebenarnya, penjual garam itu sendiri pun tak tahu jawabannya. Hanya saja, di dalam penglihatannya, wujud mereka itu terlihat sebagai rubah.
“Di mata kami, mereka terlihat sebagai bangsawan terhormat yang memakai baju sutra mahal. Tidakkah sangat mengejutkan jika dari awal kau sudah melihat wujud mereka sebagai rubah?”
Penjual garam tak bisa menjawab pertanyaan pemuda yang kritis itu.
Penjual garam itu berkata seraya melihat pentungan yang tadi dibawa dan digunakannya untuk memukul rubah,
“Semua itu karena pentungan ini. Kita bisa membedakan mana manusia dan mana rubah jika menggunakan pentungan ini.”
“Pentungan itu!”
Orang-orang yang berkumpul, membuka mata dengan lebar dan menatap pentungan itu sebagai benda yang luar biasa.
“Tentu saja. Semua berkat pentungan ini, aku bisa menangkap dan memukul rubah itu.”
Penjual garam mengangkat pentungan itu lebih tinggi dan semangat menggebu-gebu.
“Kalau begitu, ayo kita beli pentungan itu!”
Yang paling pertama maju adalah pemuda kecil yang tadi bertanya kritis kepada penjual garam.
“Maaf, bagaimana mungkin benda yang berharga ini dijual begitu saja?”
Walaupun si penjual garam tadi berkata bahwa sulit untuk menjual kipasnya, namun ternyata dalam otaknya ia berpikir dengan serius berapa harga yang pantas ia dapatkan dalam waktu yang sesingkat itu.
“Jual saja kepadaku karena aku akan memberimu banyak uang.” jelas pemuda itu.
“Tak bisa. Ini adalah hartaku. Aku tak bisa hidup tanpa benda ini. Aku hanya punya benda ini.”
Penjual garam memegang teguh pendapatnya untuk tak menjual pentungan itu.
“Jual saja kepadaku karena aku akan membayar sebanyak apapun.”
Penjual garam sepertinya menyerah dengan kata-kata pemuda tadi. Kemudian ia berkata,
“Kalau begitu, berapa banyak yang akan kau berikan?”
“500 nyang (mata uang won Korea pada zaman dahulu)”
Dada penjual garam berdegup kencang. 500 nyang katanya. Seumur-umur, ia tak pernah melihat uang sebanyak itu. Namun, beberapa saat kemudian, si penjual garam itu berubah pikiran. Ia pikir bahwa benda itu tak bisa diperjualbelikan.
“Apa maksudmu? Ini adalah hartaku, bagaimana bisa uang 500 nyang menggantikannya?”
Pemuda itu berani menawar sekali lagi,
“Kalau begitu, aku akan beli seharga 100 nyang.”
Penjual garam menggelengkan kepalanya seraya berpikir tapi ternyata benar juga.
“Kalau begitu, berapa yang ingin kau dapatkan?” pemuda itu menatap lurus seraya bertanya kepada penjual garam.
“Maaf, apa kau mau menjual benda ini? Kau kan banyak urusan, jadi jual sajalah. Kalo tak bersedia, ya sudah, sudahi saja semua ini.”
Si penjual garam sebenarnya ingin menolak tawaran itu, tapi ia begitu bingung.
“Kalau begitu akan kujual seharga 1000 nyang.”
“Baiklah kalau begitu.” kata pemuda tadi. Ia berpikir bahwa hal itu adalah keputisan yang tepat walaupun dirinya sedikit merasa sayang pada uangnya.
Penjual garam mendapatkan uangnya dari pemuda itu sebanyak 1000 nyang. Kemudian, ia berikan pentungan itu seraya kabur dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Pemuda yang telah membeli pentungan dari penjual garam tadi, berniat untuk menangkap rubah dengan semangat menggebu-gebu. Hal tersebut karena ia memiliki sebuah benda yang bisa mengetahui dengan cepat mengetahui apakah seseorang itu seekor rubah atau bukan.
Sesuai perkataan si penjual garam bahwa orang yang membawa pentungan itu akan bisa membedakan mana rubah yang bisa mengubah diri menjadi manusia. Ia pergi ke tempat yang ramai akan orang-orang sambil membawa pentungan. Ia tak menemukan seekor rubah pun walau sudah membawa pentungan itu.
“Benar juga. Itu dia!”
Pemuda itu menemukan ide yang hebat seraya memukul ringan lututnya. Di rumah duka itu, banyak orang yang memakai baju sutra. Ia sudah mencoba memukul para bangsawan yang tak terlalu tinggi jabatannya dan tak terlalu terhormat itu yang ternyata bukan rubah. Berarti rubahnya adalah para bangsawan dengan pakaian sutra dengan jabatan lebih tinggi dan terlihat lebih sopan dan terhormat. Itulah rubahnya. Begitu pikirnya sehingga pemuda itu banyak mendatangi tempat ramai di mana terdapat banyak bangsawan terhormat. Di sana,  ia memukuli mereka menggunakan pentungannya.
“Kau! Bedebah tengik yang terlempar dari mana kau?”
Pemuda itu mengira bahwa segera setelah dipukul dengan pentungan, bangsawan itu akan langsung berubah menjadi rubah. Bukankah dirinya telah memukuli bangsawan dengan jabatan tinggi.
Setelah itu, beberapa pemuda berbadan besar membawa dan mengikat pemuda itu.
“Seret laki-laki ini ke pemakaman! Laki-laki ini telah menganggu perkumpulan kita di tengah hari bolong!”
Sambil mendengar teriakan orang-orang, pemuda itu akhirnya menyadari bahwa orang-orang yang sudah dipukulnya tadi bukanlah rubah. Ia pun akhirnya mengetahui bahwa pentungan seharga 1000 nyang yang telah ia beli dari penjual garam waktu itu adalah palsu dan bohong belaka.

SUMBER: 제주도 이야기 2 karya 현길언

Tidak ada komentar:

Posting Komentar