Tampilkan postingan dengan label MENULIS FIKSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MENULIS FIKSI. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 April 2015

*a true story*

Kamis, 12 Februari 2015. Sore hari dalam perjalanan pulang dari tempat ngajar, aku menaiki bus dari Tangerang menuju Jakarta. Penumpang bus lumayan sepi. Aku suka jadi aku bisa bebas memilih duduk di mana. Untuk perjalanan berangkat, aku biasanya suka duduk di sebelah kiri yang bukan dekat jendela. Tapi untuk perjalanan pulang, biasanya aku duduk di sebelah kanan dekat jendela untuk memandangi pemandangan jalan dan lampu-lampu kota.

Sore itu, kebetulan jadwalku pulang lebih awal, jadi aku tak berkesempatan melihat lampu-lampu. Tapi, aku terhanyut mendengar keasyikan obrolan dua orang pemuda di belakangku.

Seingatku, mereka berdua naik tak lama setelah aku naik, masih di daerah Tangerang. Sekilas hanya kulihat dua sosok pemuda biasa yang sibuk mencari tempat duduk. Aku sih hanya sendirian di bangku tiga itu. Aku sibuk membaca buku parenting sambil sesekali memandangi jalan yang basah karena gerimis. Awalnya, kukira mereka akan duduk bersamaku. Ternyata mereka duduk tepat di belakangku.

Setengah perjalanan, aku masih sibuk dengan bukuku. Sesekali aku mendengar obrolan mereka. Pertama, aku suka jenis suara seorang di antara mereka. Entahlah bagaimana caranya aku harus mendeskripsikan. Lembut sekaligus bersahaja, tapi juga imut dan tegas berkharisma. Nah lho. Bingung? Entahlah aku sendiri juga sulit menggambarkan. Aku sudah bilang, kan?

Mereka terdengar membicarakan pekerjaan dan rekan-rekan mereka. Tanpa ada pergunjingan khas ibu-ibu. Sesekali mereka tertawa lepas. Yang aku ingat, ketika pemuda 1 (yang suaranya kusuka) membicarakan Pak Pram yang suka mengajak ia makan dan bahkan memesankan makanan padahal ia sudah bilang kalau dirinya shaum. Ya, pemuda 1 tidak bilang 'puasa' tapi 'shaum'. Waktu rohis di sekolah dulu, aku pernah dengar bedanya kedua kata tsb. Muslim lebih baik menggunakan kata shaum daripada puasa karena puasa bisa dilakukan oleh non muslim juga. Aku kira 'shaum' juga artinya puasa. Mungkin secara maknawiyah agak berbeda, ya? Nanti kutanya lebih jauh deh sama temanku yang jago bahasa Arab. Hehe.


Aku tersenyum kecil ketika pemuda 1 itu terkekeh mengingat kelakuan Pak Pram. Cerita dia, waktu istirahat itu, daripada pergi ke kantin, ia ingin pergi mengecek gudang saja lalu pergi ke mushola untuk tidur karena ia sedang shaum. Eh Pak Pram mungkin salah dengar atau apa, tetap saja memesankan makanan. Menurutku, itu lucu dan aku tertawa sendiri di dalam hati.

Pemuda 2... entahlah. Telingaku tak fokus pada suaranya. Seingatku, dia hanya mengiyakan dan bertanya lalu ikut berpendapat kemudian tertawa bersama. Sementara pemuda 1 berkata bahwa dalam waktu dekat ia harus memenuhi panggilan. Aku tak tahu entah panggilan kerja lain atau panggilan macam apa. Tapi yang kusuka adalah segera setelah itu, ia bilang kalau dirinya harus lebih banyak berdoa supaya lancar. Entah mengapa, saat itu aku merasa kami berdua mirip. Mungkin karena aku baru saja mengalami hal serupa: diberi tantangan dan cobaan, aku berusaha berdoa dan pasrah kepada Allah, terus beberapa waktu lama kemudian, dikabulkan doanya.

Aku mulai jatuh hati.

Mereka lanjut membicarakan hal yang agak tak kumengerti. Intinya tentang keluarga. Aku tak tahu keluarga siapa yang sedang mereka bicarakan. Tapi pemuda 1 mengatakan bahwa dari ketiga hal ini: istri, anak, atau ibu, salah satunya bisa jadi aura negatif. Mungkin maksudnya, menjadi cobaan dalam hidup. Dan pemuda 1 berujar lagi, "tapi tak semuanya orang begitu."

Aku jatuh hati lagi.

Pemuda 1 mengatakan semoga berkah dan bertambah pahala karena melakukan suatu hal baik kepada temannya itu. Em, mungkin kepada seseorang di dalam cerita mereka.

Aku jatuh cinta.

Aku yakin kalau pemuda 1 itu adalah orang yang baik. Entahlah apa dirinya sudah menikah atau belum. Itu perkara lain. Setidaknya, obrolan kedua pemuda itu selama 1 jam bisa memberikan kesan kepadaku dan sedikit menggambarkan pribadi masing-masing.

Bus mendarat di pintu keluar tol dan aku segera bersiap turun. Di lain sisi, aku penasaran dengan wajah pemuda 1 itu. Aku ingin menengok ke belakang, tapi aku malu.

Jujur, aku merasa malu. Perasaan yang sangat aneh menurutku.

Pemuda 2 turun lebih dulu dan menyampaikan salam. Sementara pemuda 1 menjawab salamnya. Mereka berpisah. Entah apa pemuda 1 juga turun di situ atau di tempat lain. Yang kutahu, ia berdiri di belakangku.

Aku sibuk mengantri untuk turun lewat pintu depan, saat itu seorang wanita di depanku beralih mau lewat pintu belakang. Aku minggir, tapi tasku terlalu besar sehingga membuatnya sulit berjalan. Sampai akhirnya, si pemuda 1 berkata kepadaku.

"Pintu belakang sudah bisa kok Mbak, sudah kosong dan tak ada orang..."

Aku melihat sosoknya tak jelas karena ia menepikan dirinya dekat jendela yang tertutupi kain gorden. Aku melihat bajunya saja, kaos panjang bergaris berwarna gelap. Pemuda 1 itu perawakannya tak begitu tinggi. Setelah kata-kata itu ia lontarka, aku tak kuasa menahan rasa maluku. Aku kabur lewat pintu belakang seraya mengatakan."Oh, sorry sorry...". Bukan untuk wanita di depanku tadi karena aku sudah membuatnya sulit berjalan. Namun, untuk si pemuda itu...

Sorry, I think I like you. Hehehe…



















 




Senin, 09 Maret 2015

Hati yang Berperang (Cerpen)



Ia terdiam memandang fotonya. Akhir-akhir ini perasaannya aneh. Ia sendiri tak mengerti perasaan apa sebenenarnya yang sedang ia rasakan kini. Jika ia dipaksa untuk menggambarkan perasaan hatinya, mungkin ia akan menggambarkan bahwa tepat di dalam hatinya ada beberapa perasaan yang bercampur lebur menjadi sebuah perasaan yang tak mudah dideskripsikan. Ada rasa menyesal, khawatir, berdosa, sedih, tertinggal, tak dicintai, tak berguna, terluka, ingin melupakan, kesepian. Namun di samping itu juga muncul perasaan bersyukur, bersemangat, mencintai, dihargai, diamati, bermanfaat, dirindukan, diberkahi. Perasaan itu semua menjadi satu seperti adonan kue di sebuah loyang bernama hati.

Ia seperti dua orang yang berbeda. Suatu waktu bisa menjadi orang yang bersemangat menggebu-gebu ingin menguasai dunia. Akan tetapi, di waktu yang lain ia memilih memojokkan diri di kamarnya yang gelap, sendiri, di pojok, menyendiri dan menangis tanpa air mata. Ia berkata kepadaku bahwa ia lelah. Lelah sekali. Ia sendiri tak tahu mengapa dan ada apa gerangan dengan hatinya. Hatinya seperti sedang berperang dan ia harus memilih perasaan mana yang akan ia rasakan lebih dominan untuk seterusnya.
Aku agak ragu apa aku bisa membantu dia. Sebenarnya menurutku ia tampak biasa-biasa saja dari luar. Ia tersenyum bahkan tertawa. Tapi ternyata di dalam hatinya ia sedang berperang. Setidaknya, begitulah penggambaran hatinya menurut yang aku dengar. Ia bisa merasakan dua perasaan yang saling bertentangan sekaligus, seperti bermanfaat namun tak berguna. Aku rasa, ada yang salah dengan dirinya. Bagaimana mungkin ada dua perasaan seperti itu dalam waktu yang sama? Aku belum pernah merasakannya, bahkan belum pernah mendengarnya.

Mungkin itulah yang ia sebut dengan hati yang berperang?

Suatu waktu ketika beberapa perasaan menyatu dan bahkan terjadi perbenturan antarperasaan yang berlawanan. Mengapa bisa begitu? Apakah hatinya jarang ia bersihkan sehingga kotoran hatinya selalu tersisa dan kini menumpuk menguapkan perperangan itu ke dalam otaknya? Sulit. Sulit aku memahaminya. Ia pun meminta nasehat dariku. Aku yang tak layak dimintai nasehat ini pun hanya bisa menjawab singkat,

“Mungkin kau harus lebih banyak bangun di sepertiga malam, Sahabatku. Aku tidak mengerti padahal aku ini sahabatmu. Bahkan dirimu yang merasakan itu pun tak paham apa yang sedang terjadi pada hatimu. Tapi, ada yang lebih mengerti dan paham tentang kita, dari ujung rambut sampai ujung kaki, setiap milimeternya. Dia lebih senang jika kita temui dalam sepertiga malam. Ya, walaupun Dia bisa kita temui kapan saja. Tapi, lebih baik kau temui Dia di waktu yang sudah kusebut tadi karena saat itu Dia sangat baik, melebihi waktu-waktu yang lain. Dia ada untuk membantu kita. Dia akan selalu ada. Bahkan, Dia bisa memahami suara hati kita. Percayalah. Pasti ada maksud tertentu pada diri kita kenapa kita harus hidup di dunia ini. Juga, selalu ada alasan kenapa dalam waktu-waktu tertentu kita merasa nyaman, namun dalam waktu yang lain kita merasa terpuruk. Hikmah di setiap saat. Serta jadikanlah kesederhanaan nasehatku ini sebagai penutup, yakni sabar dan sholat. Cukup. Aku sayang padamu, Sahabatku dan Dia pun sangat sayang kepadamu.”

Sabtu, 10 Agustus 2013

Narasi

(*dari berbagai buku sumber*)

1.1. Pengertian Narasi
Narasi atau cerita merupakan unsur yang penting dalam sebuah film fiksi. Narasi menjadi alat untuk menyampaikan makna dan pesan dalam teks film fiksi kepada penonton sehingga penonton dapat mudah memahami isi film tersebut. Menurut Keraf, narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Narasi mencakup dua unsur dasar, yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Keraf kemudian mendefinisikan bahwa narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu (2000:135-136). Struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya: perbuatan, penokohan, latar, dan sudut pandangan. Tetapi dapat juga dianalisa berdasarkan alur (plot) narasi (2000:145).
Keraf membagi narasi menjadi dua kategori, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Tetapi di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini disebut narasi sugestif (2000:136). Narasi dalam film fiksi masuk ke dalam kategori kedua, yaitu narasi sugestif. Hal itu disebabkan oleh tujuan film fiksi yang bertujuan menyampaikan makna dan pesan serta memberikan hiburan, namun tidak untuk memberikan informasi. Memang sangat dimungkinkan, film fiksi juga dapat memberikan informasi-informasi baru kepada penontonnya, namun sebenarnya hal tersebut tidak menjadi tujuan utama.
Menurut Nurgiyantoro, aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita (1994:90). Ia menambahkan, dengan bercerita, sebenarnya pengarang ingin menyampaikan sesuatu, gagasan-gagasan, kepada kita-pembaca. Penampilan peristiwa-(-peristiwa) pada hakikatnya juga berarti pengemukaan gagasan (1944:91).
Karya sastra novel dan karya seni film fiksi memiliki kesamaan unsur utama berupa narasi atau cerita. Dalam novel, narasi adalah unsur pembentuk utama. Sementara itu, menurut Pratista, dalam film fiksi unsur pembentuknya terbagi dua, yaitu aspek naratif dan sinematik (2008:1). Aspek naratif berhubungan dengan narasi film sedangkan aspek sinematik berhubungan dengan sinematografi atau produksi film. Narasi dalam novel dan film fiksi memiliki kemiripan. Oleh karena itu, menurut Rochani Adi, metode yang dilakukan dalam mengkaji novel populer tentulah dapat berlaku juga dalam mengkaji film naratif (2011:54). Dalam kajian sastra, film yang dikaji secara intrinsik pada dasarnya sama dengan kajian intrinsik novel (2011:57).
Menurut Keraf, narasi diperlukan untuk menyiapkan pembaca untuk merasakan kepenuhan makna sebuah proses, membuat pembaca melihat, mendengar, merasakan, dan memahami peristiwa itu sebagai suatu kesatuan (2000:184). Narasi film fiksi sebagai satu kesatuan menyimpan gagasan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan unsur-unsur struktur narasi untuk menganalisis bagaimana gagasan mengenai issue identitas diungkapkan dalam penelitian  kali ini. 

1.2. Tema
Menurut Sudjiman, tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (1988:50). Sudjiman menambahkan, tema itu kadang-kadang didukung oleh pelukisan  latar, tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan (1988:51). Sementara itu, menurut Junaedi, tema merupakan  persoalan yang kuat daya penariknya yang merangsang atau menjadi sumber informasi pengarang untuk menulis (1994:71). Junaedi menambahkan, tema berbeda dengan topik karena topik dapat segera diketahui setelah kita selesai membaca cerita sedangkan untuk memahami tema, diperlukan perenungan dan pemahaman yang lebih mendalam  (1994:72).

1.3. Tokoh
Pada sebuah narasi, terdapat tokoh-tokoh yang bertugas menjalankan peran masing-masing. Berbeda dalam narasi novel, tokoh dalam film fiksi dapat dilihat langsung oleh mata. Hal tersebut disebabkan oleh media yang berbeda. Novel menggunakan media tulisan sedangkan film menggunakan media audiovisual.
Dalam film fiksi, imajinasi yang dibangun tentang seorang tokoh menjadi lebih konkrit karena perwujudan tokoh sudah dapat dilihat langsung oleh mata. Mari kita bayangkan ada seorang tokoh wanita bergaun merah yang cantik. Jika tokoh tersebut muncul dalam novel, maka imajinasi yang dibangun pembaca akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Orang Indonesia yang akhir-akhir ini berpikir bahwa cantik itu putih, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu berkulit putih. Sementara itu, orang Afrika yang berpendapat bahwa cantik itu gemuk karena identik dengan kesuburan, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu bertubuh gemuk. Kecuali, dalam teks selanjutnya dijelaskan lebih detail bahwa tokoh wanita tersebut kurus, kulitnya kuning, keturunan China dan sebagainya. Maka imajinasi tokoh akan sama untuk setiap orang.
Tokoh dapat diklasifikasikan menurut fungsi tokoh dalam cerita dan cara menampilkan tokoh dalam cerita. Sudjiman menjelaskan hal ini dengan terstruktur dalam bukunya, Memahami Cerita Rekaan (1988).
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, Sudjiman mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang menjadi sentral atau pusat dalam cerita. Di dalam tokoh sentral, terdapat dua kategori lagi, yaitu protagonis dan antagonis. Menurut Sudjiman, protagonis adalah tokoh yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan (1988:18). Dalam istilah lain, kita menyebut protagonis dengan tokoh utama. Sudjiman menambahkan bahwa kriterium yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita (1988:18). Antagonis adalah tokoh lawan dari protagonis. Bahkan dapat menjadi musuh dari protagonis. Sementara itu, Grimes (1975:43-44) dalam Memahami Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Sudjiman, 1988:19).
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita, Sudjiman juga mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh datar dan tokoh bulat. Analisis sifat atau watak tokoh dalam cerita menjadi sebuah cara untuk mengetahui seorang tokoh merupakan tokoh datar atau tokoh bulat. Menurut Sudjiman, tokoh datar adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya yang dominan saja yang disoroti (1988:21). Dalam kata lain, tidak ada perkembangan dalam watak tokoh datar. Berkebalikan dengan itu, tokoh bulat adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya mengalami perkembangan dan perubahan.
Teori tentang tokoh juga dijelaskan oleh Junaedi dalam bukunya Apresiasi Sastra Indonesia (1994). Menurut Junaedie, berdasarkan pada peran yang diperankan oleh seorang pelaku, dikenal adanya pelaku utama, pelaku kedua, pelaku pembantu, dan pelaku figuran. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang peranan utama cerita. Pelaku utama ini merupakan penyebab atau sumber terjadinya cerita. Arah pengisahan tertuju kepada pelaku utama. Frekuensi keterlibatan pelaku utama dalam setiap suasana lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku lain. Pelaku utama ini terdiri dapat dari dari dua orang, yaitu pelaku utama yang pertama dan pelaku utama yang kedua. Peran pelaku utama yang kedua hampir sama dengan pelaku utama yang pertama. Perbedaannya terletak pada derajat keterlibatannya dalam cerita. Pelaku utama yang pertama terlibat secara langsung dalam setiap situasi sehingga ia pun merasakan secara langsung akibat-akibat yang timbul dari situasi itu sedangkan pelaku utama yang kedua, sekalipun ia juga dapat terlibat langsung, namun keterlibatannya itu terjadi karena ia terkait dengan pelaku utama yang pertama (1994:79).
Menurut Junaedi, pelaku kedua adalah pelaku yang mengimbangi atau yang membayang-bayangi atau bahkan menjadi musuh pelaku utama. Pelaku kedua ini juga dapat terdiri lebih dari satu orang. Sementara itu, pelaku pembantu adalah pelaku yang ikut mendukung atau turut memperlancar peranan pelaku utama atau pelaku kedua dan pelaku figuran adalah pelaku-pelaku dalam cerita yang tidak jelas peranannya (1994:81).

1.4. Penokohan
Penokohan dalam narasi penting untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Menurut Sudjiman (1986:58) dalam Memahami Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1988:23). Sementara itu, Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (1994:165).
Menurut Junaedi, penokohan atau karakterisasi adalah pengsifatan pelaku dengan karakter tertentu. Pada dasarnya, ada dua cara yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan karakter pelaku cerita, yaitu (1) secara langsung dan (2) tidak langsung (1994:82). Penggambaran pelaku secara langsung, yaitu pengarang mendeskripsikan sifat atau karakter pelaku sedangkan penggambaran pelaku secara tidak langsung dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti:
a)      penggambaran karakter melalui gambaran bentuk tubuh pelaku;
b)      penggambaran karakter pelaku lewat jalan pikiran atau sesuatu yang terlintas dalam pikiran pelaku;
c)      penggambaran karakter didasarkan pada reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu;
d)     penggambaran karakter pelaku dengan cara melukiskan kebiasaan dan keadaan lingkungannya;
e)      penggambaran karakter pelaku melalui sikap atau pandangan pelaku lain;
f)       pengarang menggambarkan karakter pelaku (utama) melalui perbincangan pelaku lain (1994:83-89).
Melalui penokohan, tokoh memiliki sifat dan watak yang khas sehingga dapat membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain. Fungsi penokohan sangat penting dalam sebuah narasi karena tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya akan menjadi tidak bermakna karena tidak memiliki sifat dan watak.

1.5. Latar
Latar merupakan unsur dalam narasi yang menunjukkan tempat, waktu, dan suasana tertentu. Menurut Rochani Adi, setting atau latar maksudnya tempat dan masa terjadinya cerita. Sebuah cerita haruslah jelas di mana dan kapan kejadian itu berlangsung (2011:49).
Sementara itu, menurut Nurgiyantoro, unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketika unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. (1994:227). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (1994:230). Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (1994:233-234).
Latar dapat menggunakan tempat yang benar-benar ada di dunia, seperti kota Jakarta, kampus Universitas Indonesia, ataupun wilayah yang lebih kecil lagi. Namun, latar juga dapat menggunakan tempat rekaan yang sebenarnya tidak ada di dunia, seperti sekolah sihir Hogwarts dalam novel dan film Harry Potter atau middle earth dalam novel dan film The Lord of The Rings.

1.6. Sudut Pandang
Sudut pandang memiliki istilah-istilah lain yang memiliki makna yang sama, yaitu titik pengisahan dan point of view. Menurut Junaedi, sudut pandangan adalah cara yang digunakan  pengarang mengisahkan ceritanya, yaitu  pada sudut mana pengarang berdiri ketika ia menyusun ceritanya (1994:101). Sementara itu, menurut Abrams (1981:142) dalam  Teori Pengkajian Fiksi, berpendapat bahwa sudut pandang merupakan cara  dan atau  pandangan  yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1994:248).
Nurgiyantoro membagi sudut pandang  ke dalam beberapa macam, yaitu:
1.      sudut pandang persona ketiga: “dia”, yaitu narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga: “dia” terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu “dia” mahatahu  (the omniscient point of view) dan “dia” terbatas atau “dia”sebagai pengamat;
2.      sudut pandang persona pertama: “aku”, yaitu  narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama: “aku” terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu  “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan;
3.      sudut pandang campuran, yaitu ketika pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah  cerita yang dituliskannya (1994:256-266).

Sudut pandang di dalam sebuah film memiliki keunikan sendiri dibandingkan sudut pandang di dalam sebuah  novel. Hal itu disebabkan oleh penggunaan kamera sebagai titik sudut pandang. Menurut Rochani Adi, dalam film, sudut pandang selalu sama dengan mata kamera dan penonton tidak mempunyai cara lain selain mengikuti arah ke mana kamera ditujukan (2011:58).  
Di lain sisi, sudut pandang atau point of view dalam novel memiliki kemiripan dengan batasan informasi cerita dalam film. Menurut Pratista, pembatasan informasi cerita merupakan  hal yang sangat penting dalam sebuah film dan seeorang sineas memiliki kontrol atau pilihan terhadap batasan informasi cerita. Batasan informasi cerita dalam sebuah film dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni penceritaan terbatas (retricted narration) dan penceritaan tak terbatas (omniscient narration) (2008:39). Penceritaan terbatas (retricted narration) adalah informasi cerita yang dibatasi dan terikat hanya pada satu orang karakter saja. Penonton hanya mengetahui serta mengalami peristiwa seperti apa yang diketahui dan dialami oleh karakter yang bersangkutan. Mata kamera tidak pernah meninggalkan karakter utama dan selalu mengikuti ke mana pun ia pergi (2008:39-40).  Penceritaan tak terbatas (omniscient narration) adalah  informasi cerita yang tidak terbatas hanya pada satu karakter saja. Kamera dapat meloncat dari satu karakter ke karakter lain dan bebas menangkap segala peristiwa atau obyek apapun (2008:41).

1.7. Alur/Plot
Alur menjadi unsur yang begitu penting dalam sebuah narasi. Alur atau plot dan narasi atau cerita berkaitan satu sama  lain. Menurut Nurgiyantoro, cerita dan plot merupakan  dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Dasar pembicaraan cerita adalah  plot dan dasar pembicaraan plot adalah cerita. Namun, plot lebih bersifat kompleks daripada cerita (1994:93-94).
Menurut Stanton (1965:14) dalam Teori Pengkajian Fiksi, plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian  itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 1994:113). Menurut Junaedi, alur adalah perangkaian peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam hubungan yang logis dan bersifat kausalitas sehingga terbentuk satu kesatuan cerita yang utuh (1994:90). Sudjiman berpendapat bahwa alur adalah tulang punggung cerita yang dibangun oleh berbagai peristiwa yang disajikan dalam  urutan  tertentu (1988:29).
Menurut Keraf, alur terbagi dalam tiga struktur, yaitu:
a.       pendahuluan, yaitu struktur pertama yang menghasilkan perbuatan yang muncul dari sebuah situasi yang harus mengandung unsur-unsur yang mudah meledak atau mampu meledakkan (setiap saat situasi dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan);
b.      perkembangan, yaitu struktur kedua yang menjadi batang tubuh utama dari seluruh tindak-tanduk para tokoh dan mencakup adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan atau menggawatkan komplikasi yang berkembang dari situasi asli;
c.       penutup, yaitu struktur ketiga yang menjadi bagian yang merupakan titik ketika struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya (2000:150-154).

Dalam film, alur atau plot dapat dianalisis melalui sekuennya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam film dibangun dalam sebuah audiovisual yang terbagi dalam beberapa bagian. Bagian kecil disebut adegan sedangkan bagian yang lebih besar disebut sekuen. Menurut Pratista, sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen biasanya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu sekuen dapat dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang (2008:29-30).

1.8. Konflik
Menurut Junaedi, konflik adalah krisis atau pertentangan yang terjadi antara kedua kekuatan yang masing-masing ingin mengalahkan atau menghancurkan yang lain. Konflik tersebut dapat terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, antara manusia dengan alam sekitar seperti kebiasaan atau adat istiadat, bahkan mungkin saja konflik itu terjadi dalam diri manusia. Kelahiran dan kematian, perkawinan dan perceraian, kejahatan dan kebenaran, perang dan damai, ketakutan dan keberanian, dan sebagainya semuanya dapat menjadi sumber timbulnya konflik (1994:120).
Sementara itu, menurut Keraf, konflik menjadi sebuah titik ketika makna dalam sebuah narasi hampir selalu muncul (2000:167). Sama seperti Junaedi, Keraf juga membagi konflik menjadi tiga macam walaupun ada beberapa unsur yang berbeda. Ketiga konflik tersebut , yaitu:
a)      konflik melawan alam, yaitu suatu pertarungan yang dilakukan oleh seorang tokoh atau manusia secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melawan kekuatan alam yang mengancam hidup manusia itu sendiri;
b)      konflik antarmanusia, yaitu pertarungan seorang melawan seorang manusia yang lain, seorang melawan kelompok yang lain yang berkuasa, suatu kelompok melawan kelompok yang lain, sebuah negara melawan negara yang lain karena hak-hak mereka diperkosa;

c)      konflik batin, yaitu pertarungan individual melawan dirinya sendiri, dalam konflik ini timbul kekuatan-kekutan yang saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan, kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan kedermawanan, dan sebagainya (2000:168-169).