Senin, 09 Maret 2015

Hati yang Berperang (Cerpen)



Ia terdiam memandang fotonya. Akhir-akhir ini perasaannya aneh. Ia sendiri tak mengerti perasaan apa sebenenarnya yang sedang ia rasakan kini. Jika ia dipaksa untuk menggambarkan perasaan hatinya, mungkin ia akan menggambarkan bahwa tepat di dalam hatinya ada beberapa perasaan yang bercampur lebur menjadi sebuah perasaan yang tak mudah dideskripsikan. Ada rasa menyesal, khawatir, berdosa, sedih, tertinggal, tak dicintai, tak berguna, terluka, ingin melupakan, kesepian. Namun di samping itu juga muncul perasaan bersyukur, bersemangat, mencintai, dihargai, diamati, bermanfaat, dirindukan, diberkahi. Perasaan itu semua menjadi satu seperti adonan kue di sebuah loyang bernama hati.

Ia seperti dua orang yang berbeda. Suatu waktu bisa menjadi orang yang bersemangat menggebu-gebu ingin menguasai dunia. Akan tetapi, di waktu yang lain ia memilih memojokkan diri di kamarnya yang gelap, sendiri, di pojok, menyendiri dan menangis tanpa air mata. Ia berkata kepadaku bahwa ia lelah. Lelah sekali. Ia sendiri tak tahu mengapa dan ada apa gerangan dengan hatinya. Hatinya seperti sedang berperang dan ia harus memilih perasaan mana yang akan ia rasakan lebih dominan untuk seterusnya.
Aku agak ragu apa aku bisa membantu dia. Sebenarnya menurutku ia tampak biasa-biasa saja dari luar. Ia tersenyum bahkan tertawa. Tapi ternyata di dalam hatinya ia sedang berperang. Setidaknya, begitulah penggambaran hatinya menurut yang aku dengar. Ia bisa merasakan dua perasaan yang saling bertentangan sekaligus, seperti bermanfaat namun tak berguna. Aku rasa, ada yang salah dengan dirinya. Bagaimana mungkin ada dua perasaan seperti itu dalam waktu yang sama? Aku belum pernah merasakannya, bahkan belum pernah mendengarnya.

Mungkin itulah yang ia sebut dengan hati yang berperang?

Suatu waktu ketika beberapa perasaan menyatu dan bahkan terjadi perbenturan antarperasaan yang berlawanan. Mengapa bisa begitu? Apakah hatinya jarang ia bersihkan sehingga kotoran hatinya selalu tersisa dan kini menumpuk menguapkan perperangan itu ke dalam otaknya? Sulit. Sulit aku memahaminya. Ia pun meminta nasehat dariku. Aku yang tak layak dimintai nasehat ini pun hanya bisa menjawab singkat,

“Mungkin kau harus lebih banyak bangun di sepertiga malam, Sahabatku. Aku tidak mengerti padahal aku ini sahabatmu. Bahkan dirimu yang merasakan itu pun tak paham apa yang sedang terjadi pada hatimu. Tapi, ada yang lebih mengerti dan paham tentang kita, dari ujung rambut sampai ujung kaki, setiap milimeternya. Dia lebih senang jika kita temui dalam sepertiga malam. Ya, walaupun Dia bisa kita temui kapan saja. Tapi, lebih baik kau temui Dia di waktu yang sudah kusebut tadi karena saat itu Dia sangat baik, melebihi waktu-waktu yang lain. Dia ada untuk membantu kita. Dia akan selalu ada. Bahkan, Dia bisa memahami suara hati kita. Percayalah. Pasti ada maksud tertentu pada diri kita kenapa kita harus hidup di dunia ini. Juga, selalu ada alasan kenapa dalam waktu-waktu tertentu kita merasa nyaman, namun dalam waktu yang lain kita merasa terpuruk. Hikmah di setiap saat. Serta jadikanlah kesederhanaan nasehatku ini sebagai penutup, yakni sabar dan sholat. Cukup. Aku sayang padamu, Sahabatku dan Dia pun sangat sayang kepadamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar