Tampilkan postingan dengan label Seonsaengnim Ilgi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seonsaengnim Ilgi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Juni 2015

#2 Kami: Para Pemain Musik di Kapal Titanic



Hikmah: Yang namanya rezeki dari itu ternyata bukan hanya berupa koin emas, perak, mata uang rupiah, dolar, atau dinar. Rezeki itu… bisa berupa pertemuan dengan orang-orang baik, dan persahabatan dengan mereka bisa kita bilang sebuah… anugerah.

Tsunami. Laut ini pernah tenang, pernah bergejolak hebat karena ombak, kapal ini pernah mati lampu. Namun, baru pertama kali kami diterpa badai Tsunami. Kami, para pemusik akan tetap memainkan musik bagi para penumpang. Satu persatu teman kami mundur saat datang badai di awal waktu kemarin. Kami hargai keputusan mereka karena kami percaya hidupmu adalah pilihanmu. Kami percaya setiap pemusik memiliki hak untuk bahagia. Jika mundur dan meninggalkan kami adalah jalan mereka untuk mencapai kebahagiaan, siapa bisa menolak? Kini badai terbesar bernama Tsunami itu menghancurkan dan meluluhlantahkan kapal kami. Kami terlempar ke tengah samudera, menjadi bakal santapan ikan-ikan hiu. Kamilah para pemusik di kapal Titanic. Kami tidak kehilangan arah dan menabrak gunung es. Kami digulung ombak badai Tsunami. Kami berenang sekuatnya. Kami berhasil berenang ke permukaan samudera, hidup dan selamat bersama dengan alat musik di tangan kami masing-masing. Kami tidak akan tenggelam atau menenggelamkan diri ke dasar samudera. Pun bukan menjadi santapan ikan hiu. Kami akan mencari kapal baru dan bermain musik bersama lagi di sana. Sekali lagi, kami ini pemusik di kapal Titanic. Jika kapal kami Titanic kami hancur, maka kami akan mencari kapal Titanic yang lain. Bersiaplah menikmati setiap alunan musik kami, meresapi setiap nada yang terbang ke udara, menari dan berputar…

Saya pernah berdoa ketika SMA. Dalam doa itu saya panjatkan, “Ya Tuhan… berilah aku lingkungan dan teman-teman yang baik ketika aku kuliah nanti.” Doa itu, saya panjatkan beberapa kali di masjid sekolah dengan khusyuknya. Saya takut saya terbawa lingkungan yang buruk dan teman-teman yang buruk di bangku kuliah. Mungkin karena terlalu banyak menonton televisi, ya? Takut terkena narkoba, kehidupan malam, dsb.

Beberapa tahun kemudian. Saya sudah lulus kuliah (sekitar dua tahun yang lalu) dan saya berkontempelasi. Ternyata Tuhan mengabulkan doa saya waktu dulu. Saya dikelilingi orang-orang yang baik. Bahkan, walaupun sudah lulus kuliah sekarang, kami masih sibuk untuk saling menasehati dalam kebaikan.

Saya beberapa waktu lalu berdoa semacam itu lagi, “Ya Tuhan… berikanlah aku lingkungan kerja yang baik dan teman-teman yang baik sehingga aku bisa mengembangkan diriku menjadi pribadi yang lebih berkualitas, serta penghasilan yang baik agar aku bisa bersedekah kepada keluargaku, menabung untuk masa depanku, dan membantu orang lain.”

Saya bosan bekerja di tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang suka membicarakan orang lain. Saya waktu itu merasa sedang menurunkan kualitas saya di hadapan Tuhan sebagai manusia. Memang penghasilan yang didapatkan sangat baik. Namun, bekerja di tempat tsb membuat saya tak bisa berkembang dan malah melakukan ghibah terhadap orang lain. Maka, saya berdoa dalam hati waktu itu, “Ya Tuhan… aku akan meninggalkan pekerjaan di tempat ini, Insya Allah karena-Mu Tuhan… Bantulah aku agar aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, teman-teman yang lebih banyak dan lebih baik, lingkungan yang lebih baik sehingga aku bisa menjadi manusia yang lebih baik.”

Waktu pun berlalu dan Februari lalu, saya dipertemukan dengan sekelompok orang yang bisa saya banggakan hari ini. Merekalah sahabat-sahabat saya. Bukan sekadar rezeki, namun mereka adalah anugerah dari Tuhan. Walaupun pertemuan kami singkat, kami yakin kami akan bertemu kembali. Tuhan punya rencana atas pertemuan kami ini. Entah apa. Nanti hanya waktu yang bisa menjelaskan. Saya berdoa agar perpisahan ini menjadi awal pertemuan kembali kami di kapal yang baru. Tsunami itu sudah berlalu, tapi masih meninggalkan luka dan porak poranda di diri kami. Tak mengapa. Bukankah manusia menjadi dewasa karena luka?

Lebih dari itu semua. Selama ini, toh Jalan dan Rencana Tuhan adalah yang terbaik dari semua jalan dan rencana manusia yang pernah hidup di muka bumi ini. Kita hanya perlu ridho dengan Jalan dan Rencana Tuhan setelah kita berikhtiar dan berdoa semampu kita. Biarkanlah Tuhan Mengambil alih dan rasakan kejutan dari-Nya nanti. Tuhan, terima kasih telah membuat saya belajar dari mereka dan memahami arti keridhoan sesuangguhnya. Para pendidik yang selalu mencoba dengan segenap hati mendidik dan menjadi teman dalam belajar bagi para siswanya. Melakukan yang terbaik dan bersama-sama belajar menjadi manusia sesungguhnya. 

*lebay ya? hehe. bukan penulis kalo enggak lebay hoho #kaburrr

Sabtu, 09 Mei 2015

Jadi Pengajar Itu Gampang… Kata Siapa?



#PROLOG

Dulu banget, saya pernah ngobrol dengan salah satu saudara, kalo enggak salah seperti ini dialognya:

“Siti sekarang kerja di mana?”
“Depok, Kak.”
“Kerjanya ngapain? Di perusahaan Korea?”
“Bukan, Kak. Siti ngajar.”
“Oh, gampang kalo ngajar, mah…”
“………………”

Saya percaya, setiap pekerjaan itu ada bagian mudahnya dan ada bagian susahnya, ada bagian enaknya dan ada bagian enggak enaknya, ada waktu luangnya dan ada waktu sibuknya. Apapun jenis pekerjaannya itu. Dari berbagai macam jenis pekerjaan, salah satu yang saya pilih sebagai karier saat ini adalah menjadi seorang pengajar. Ada beberapa alasan kenapa harus menjadi seorang pengajar. Salah satunya adalah kebermanfaatan terhadap sesama. And.. kenapa memilih pengajaran bahasa Korea?

Hmm, ada cerita lucu tentang itu. Intinya, waktu tahun 2009, pas mau daftar SIMAK UI, saya nekat memilih jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea FIB UI sebagai pilihan kedua. Sementara pilihan pertamanya, tentu saja… Administrasi Perpajakan FISIP UI. Saya daftarkan jurusan kedua itu sebelum meminta izin kepada orang tua. Awalnya, saya bilang mau ambil bahasa Inggris atau bahasa Jepang atau Mandarin. Walaupun, ayah saya tetap menyarankan untuk ambil jurusan Ilmu Perpustakaan biar bisa jadi PNS. Hehehe. Tapi dasar anaknya bandel. Saya klik BKK UI yang waktu tahun 2009 itu jurusan masih minim informasi. Dan saya diomelin habis-habisan sama ayah saya di rumah. Entahlah, dulu saya punya feeling bahwa bahasa Korea itu masih sedikit yang bisa dan saya mau jadi salah satu yang mahir. “Prospek bahasa Korea itu bagus banget! Nanti di masa depan, saya bisa jadi ‘berlian’ yang dicari orang!” begitu saya pikir waktu itu.

Selama berkuliah, kami para mahasiswa BKK UI belajar semua tentang Korea, enggak hanya sastra aja, tapi kebudayaan, ekonomi, sejarah, kepercayaan, sampe linguistik dan fonetik bahasa juga. Semuanya. Sampe akhirnya, kami merasa kami lebih ‘korea’ dibandingkan orang Korea sendiri. Hahaha. Nah, saya jatuh cinta pada dunia pengajaran karena ketika menengok ke belakang, waktu SD-SMA dulu, saya banyak menemukan beberapa karakteristik pengajar. Dari yang enak banget ngajarnya sampe yang killer banget ngajarnya. Dan saya selalu nge-fans sama pengajar yang enak banget ngajarnya. Kenapa bisa seperti itu, ya? Transfer ilmunya itu jadi tanpa penghalang, langsung masuk ke otak saya dan jadi pemahaman akan pengetahuan baru. Menyenangkan. Apalagi kalo pengajarnya ganteng. Eh ngaco!

Dari faktor internal, saya senang dengan pekerjaan planning something and do that planning. And teaching is just a great job, right! Sementara itu, dari factor eksternal, saya juga ingin masuk geng mereka (baca: para pengajar yang enak ngajarnya). Selain itu, kebermanfaatan ilmu yang ditransfer itu bisa jadi ladang pahala buat para pengajar. 

Wah! Makanya, saya jatuh cinta dengan pekerjaan ini.   

Jadi pengajar itu gampang… kata siapa? Sama dengan pekerjaan lain, kami para pengajar juga terkadang menemukan kesulitan dalam pekerjaan kami. Nah, maka dari itu saya ingin sharing pengalaman seru, indah, seram, bahkan sedih ketika mengajar. Semuanya. Dan hikmah di setiap kejadiannya…

*feat a song called Soul in OST It's Okay It's Love Korean Drama*