Minggu, 15 Desember 2013

KEAJAIBAN SEDEKAH

Assalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh! 좋은 아침... ^^

Kali ini saya mau share tentang perselingkuhan persedekahan. Posting pertama nih di blog saya tentang sedekah. Okay, hmm... Keajaoban sedekah ini terjadi kepada saya minggu lalu, tepatnya tanggal 8 Desember 2013. Hari itu adalah jadwal saya mengajar di Depok. Sebelum itu, saya pergi ke ATM di Cibubur untuk transfer ke salah seorang kenalan dalam rangka ikut menyumbang kepada (kita sebut saja) Pak S. Beliau adalah pak satpam di SMA saya dulu. Kini, beliau sedang sakit stroke dan butuh bantuan. Katanya, kondisi beliau sudah parah. Memang sih, saya melihat foto di grup FB itu seperti before and after-nya tubuh beliau. Dulu, beliau sangat gemuk, tetapi sekarang kurus kering. Jujur, saya tidak akan mengenali beliau jika berpapasan di jalan. Kurus sekali! Dan katanya tubuhnya menguning karena sakit tersebut.

Jadi, para alumni berinisiatif untuk membantu beliau. (Btw, teman-teman pembaca tolong doakan saya supaya terhindar dari ujub, bukan maksud saya untuk ujub karena sedekah, tetapi keajaiban yang saya rasakan nantilah yang saya maksudkan dalam posting kali ini. Sungguh Allah Maha Kaya dan Maha Mengetahui.)

Nah, siang itu sekitar pukul 12.00 kurang, saya transfer 100 ribu rupiah. Setelah dari ATM, saya mengangkot menuju Depok. Kelas diadakan pukul 13.00. Di kelas, ternyata sudah datang salah seorang murid yang begitu sanguinis (menurut saya, hehehe.). Kita panggil saja dengan Mbak S. Hari itu, Mbak S bersorak-sorai gembira karena dirinya membawa Chocopie. Kudapan yang mirip Better tapi lebih lembut dan isinya itu marsmellow. Enak sih, tapi saya tidak terlalu suka karena selalu menyangkut tuh di gigi dan membuat gigi item-item. Hehehe!

Begitu kelas akan dimulai, Mbak S mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah buku jurnal 2014 berwarna biru. Saya terperanjat seraya berujar kepadanya,

“Wah! Udah beli, ya, Mbak? Keren!”

Kemudian, saya lanjutkan dalam hati, “Wah, Mbak S udah beli. Tapi itu punya Mbak S kayaknya. Berarti punya gue kapan datengnya, ya?” Buku jurnal itu adalah buku jurnal lucu yang dijual online. Kami berdua adalah maniak online shopping, by the way (kekekek). Minggu sebelumnya, kami sudah membicarakan buku yang harganya 109 ribu rupiah itu. Singkatnya, minggu saya menitip buku itu kepada Mbak S. Namun, belum pernah menanyakan kondisi pesanannya.

Sebenarnya, selain buku jurnal, toko online-nya juga menjual buku catatan perjalanan dan lain-lain. Mbak S membeli buku perjalanan jauh sebelum hari itu dan sudah terisi lengkap dengan perjalanannya ke Bali dan Korea. Di bukunya, tertempel aneka foto dan bahkan karcis kereta! Buku tersebut memang menyediakan halaman khusus untuk hal-hal itu.

Back to the keajaiban sedekah! Saya menitip beli buku itu kepada Mbak S minggu lalu dan hari Rabu sudah ia terima katanya. Setelah itu, Mbak S juga mengeluarkan sebuah benda lain dari dalam tasnya, seplastik besar rumput laut untuk kimbab! KIM! Atau terkenal juga dengan sebutan Nori. Isinya ada 20 lembar. Nah, saya juga menitip beli barang itu beberapa minggu sebelumnya karena rumah Mbak S katanya dekat dengan toko makanan Korea. Kim seperti itu sudah saya cari-cari dari beberapa tahun yang lalu (beneran, susah banget carinya!).

Ketika saya menanyakan total harganya, ia menjawab,

“Enggak usah Seonsaengnim. Buat Seonsangnim aja sebagai kado ulang tahun!” (padahal ulang tahun saya akhir November kemarin... dan bukan tipe penyuka ulang tahun. Setiap ulang tahun, saya malah takut karena tambah tua dan takut tambah dosa .)

JEGER! Ya, mungkin beberapa orang menganggap lebay. Akan tetapi, tidak bagi saya. Kedua barang itu saya idam-idamkan sekali. Pertama, buku jurnal 2014 yang lucu dan warna warni itu. Saya cari di Gramedia pun tidak ada buku semacam itu. Di sana, terlalu plain bukunya. Saya butuh buku jurnal yang lucu dan warna warni agar target-target dan mimpi-mimpi saya tahun 2014 dapat dirancang dengan fun. Allah mendengar kebutuhan saya. Maka, datanglah murid saya dengan informasi toko online buku itu. Pertama kali melihat review di website-nya, saya langsung jatuh cinta dengan buku jurnal itu.

Kedua, seplastik rumput laut untuk kimbab a.k.a kim. Saya adalah maniak rumput laut, jadi saya berkeinginan suatu saat bisa membuat kimbab isi rendang di rumah atau isian yang lainnya yang ala Indonesia. Dan Allah juga mendengar keinginan saya itu. Keinginan yang menurut sebagian orang mungkin biasa saja. Ya, mungkin keinginan saya ini sama dengan keinginan seorang miskin yang ingin sekali makan ayam goreng. Macam tu lah. Hehehe!

Nah, kalau dikalkulasikan... sebelumnya, saya sedekah pukul 12.00 kurang, dengan jumlah 100 ribu rupiah. Kemudian sekitar satu jam setelahnya, sedekah saya langsung diganti berupa buku jurnal dan kim! Kedua benda itu kalau dikalkulasi, buku harganya 109 ribu dan kim isi 20 lembar mungkin sekitar 50 ribu atau lebih (yang kecil-kecil di minimarket aja mahal, apalagi nyang gede ini). So, totalnya, sekitar 159 ribu. Mungkin kalau hitang-hitung seperti ini agak gimana gitu, ya? Tapi entah mengapa saya merasa  takjub sendiri! Padahal saya baru sedekah satu jam sebelumnya dan langsung dibalas cepat sekali. Allah sama sekali tidak menundanya! 100 ribu saya diganti! Malah dapat lebih 59 ribu! Alhamdulillah!

Ya, sedekah itu memang ‘jemputan’ rezeki. Rezeki bisa berbentuk materi, seperti uang, properti, dan barang. Juga, berbentuk non materi, seperti kesehatan, keselamatan dari bahaya bahkan kematian. Saya pernah baca buku, isinya kisah seorang pemuda yang tidak jadi mati karena sebelumnya bersedekah dengan hartanya. Allah menunda kematiannya dan membatalkan tugas malaikat pencabut nyawa hari itu. Bayangkan! Kematian bisa ditunda lho pakai sedekah! (Kalau tidak salah, dari buku 7 Keajaiban Rezekinya Ippo Santoso)



Itulah kisah saya tentang keajaiban sedekah. Kalau kamu? ^^


Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh!  

Selasa, 03 Desember 2013

Random sih, tapi penting! (part 1)

Okay, sekarang sudah masuk bulan Desember. It’s the month of my survival experiment plan (nah lho, apaan tuh?). Intinya, saya akan belajar untuk semakin mandiri (baca: ongkos bulanan). Walaupun masih belum berpenghasilan banyak sesuai plan, teteup mau coba sebulan enggak minta uang ke orang tua tapi... mulainya setelah dapat honor mengajar tanggal 6 hehe. Survival Plan Bulan November gagal, hehehe. Yang jelas, Insya Allah apapun yang terjadi... mulai Januari tahun 2014, saya harus bisa membiayai hidup sendiri! Wush wush prok prok! Doakan saya, yak!

Sipp. Lanjut. Ya, namanya juga random. Hehehe. (Ambil kalender, nyontek aneka kegiatan yang sudah lalu, ya abisnya lupa, kkk.) Okay, jadi terakhir saya nge-posting di sini agak lama, ya? Itu tanggal 10 Agustus. Dua puluh hari sebelum Wisuda S1 saya ^^. All right then, mari kita putar waktu lebih jauh ke belakang... Sruuuutttt.... Sumpah ini jauh banget, ke bulan Juli 2013 :p.

Di bulan Juli itu, saya masih menjadi mahasiswa yang sedang menuju sidang skripsinya. Dulu sih parno gimana gitu kalau mendengar kata ‘skripsi’, tapi sekarang mah enggak dong. Kan sudah lulus, hehe. Tepat tanggal 8 Juli pukul 10 pagi di ruang 6103, saya sidang presentasi di depan para penguji (aseek). Sampai-sampai di kalendernya, saya gambarkan simbol hati sebagai pengingat hari sidang skripsi. Jadi, angka 8 nya itu ada di tengah gambar hati ^^ (alay dikit). Gambar hati dipilih bukan karena saya menyukai sidang. (idiiiih, ya kaleee...) Akan tetapi, saya ingin menghipnotis diri supaya lebih tenang dan memikirkan kebahagiaan super tingkat tinggi setelah sidang tsb berakhir. Simbol hati kan bermakna cinta dan kebahagiaan. Iya, kan?

Btw, kata teman-teman saya, skripsi itu ibarat wanita yang sedang hamil. Nah, sidangnya itu adalah WAKTU MELAHIRKANNYA! Jadi, perasaan pas sidang ya seneng-seneng agak takut-nervous gimana gitu. Tapi teteup semua itu tergantung pintar-pintarnya diri kita membuat pikiran kita tetap positif. Saya ingat, di tengah-tengah presentasi, tangan saya tiba-tiba gemetar. Saya langsung istigfar lalu menenangkan diri seraya berbisik sendiri dalam hati, “It’s fine. Tenang, Ti. Tenang. Gak apa-apa. Semua akan beres dan selesai dengan baik.” Ya kira-kira begitu. Dan hipnotis tsb berhasil berhasil hore! #sing dora the explorer.

Nah, tips kalau mau sidang skripsi adalah pertama, kuasai materi dari bab 1 sampai kesimpulan dengan baik dan menyeluruh. Kedua, latihan presentasi dan latihan antisipasi jawaban soal (maksudnya pertanyaan yang kira-kira akan ditanyakan para penguji). Waktu itu untuk menguasai materi, saya membuat catatan ringkasan dari semua bab. Nah, kemudian saya latihan dengan dua orang teman saya, Agnes dan Zakiyah di kosan Zakiyah di Jalan Amaliah, Akses UI. Yang koplaknya adalah ketika latihan presentasi dan antisipasi jawaban, saya masih menjawab pertanyaan seperti orang ayan, terbata-bata dan tidak jelas mau ke mana jawabnya. Itu terjadi dua kali. Jadi, kami latihan satu angkatan dan juga latihan satu kali lagi secara lebih privat di kosannya Zakiyah.

Waktu latihan di KCC, perpus UI lantai 2, sudah keren pakai slide segala, tapi kelemahan saya waktu itu adalah belum menyusun kata untuk presentasi. Tahu, kan kalau sidang itu ada batas presentasinya berapa menit, jadi enggak boleh terlalu bertele-tele gitu. Eh, karena minim persiapan, saat latihan saya kacau meracau.

Selain susunan kata, ekspresi wajah dan tubuh juga sangat penting lho waktu sidang! Dan diri saya kacau sekali waktu latihan itu. Waktu latihan di KCC, teman saya ada yang bilang kalau ekspresi saya terlalu ‘jujur’. Maksudnya, jujur kagetnya dengan pertanyaan yang diajukan teman saya (dia pura-pura jadi dosen penguji, saya nantinya juga dapat giliran pura-pura jadi dosen penguji). Ya pokoknya latihannya memang sudah diatur sedemikian rupa supaya mirip dengan suasana sidang. Back to my expression! Hehe. Iya, selain kaget dengan pertanyaan (karena enggak nyangka akan ditanya seperti itu), saya juga diomeli teman karena tidak sadar kalau dari awal itu berkacak pinggang (satu tangan pegang handout dan satu tangan lagi di pinggang, malah terkadang tangan yang ada handout-nya itu berputar ke sana kemari mirip wayang, dan saya enggak sadar!). Slide juga dapat kritikan dari teman, katanya terlalu rame. Akhirnya saya memperbaiki semuanya.

(urutan peserta sidang)

Kebetulan saya dapat giliran pertama untuk maju sidang. Entah mau senang atau sedih ketika dapat informasi itu. Sebaliknya, Si Agnes dapat giliran terakhir. Ya, saya positif thinking lagi, berarti nanti jadi sarjana humaniora dari anak-anak Korea angkatan 2009 yang pertama. Wehehe kerenlah. Lagipula, being the first itu memang lebih banyak enaknya (dalam kasus saya ini). Kalau sudah selesai, tinggal nontonin teman-teman yang lain yang lagi sidang hehehe. Oh iya, jadwal sidang kami itu ada di saat menuju bulan Ramadhan. Waktu itu ada selentingan dari teman, “ya, semoga dapet pas Ramadhan, kan jadi enggak usah nyediain konsumsi buat para penguji, kkk.” Eh, ternyata teteup aja harus menyediakan karena kami sidang tanggal 8 dan 9 Juli sementara Ramadhan jatuh di tanggal 10. Hahaha. Yasuud.

Nah, dengan latihan, doa, dan pikiran positif, serta asupan makanan yang enak, saya berhasil me’menang’kan sidang! Alhamdulillah dapat nilai terbaik sesuai harapan. Bahkan di luar plan awal. Really THE BEST OF ALL.

Masih cerita tentang skripsi saya, ya! Sebenarnya, waktu itu saya sedang banyak jadwal mengajar di bimbel, jadi badan agak kurang fit. Untungnya, ketika sidang, saya sehat-sehat saja. Tapi, satu hari setelah sidang, langsung deh masuk angin. Dan kebahagiaan super tingkat tinggi yang saya kira akan saya dapatkan setelah sidang skripsi, ternyata BOHONG BELAKA!!!! Suer deh. Ternyata, mengurus kelulusan dan tetek bengeknya itu super duper menguras tenaga and itu sudah masuk bulan puasa. Intinya, jika mau lulus, maka revisi skripsi harus jadi paling lambat seminggu setelah sidang (kasus saya, beda dengan yang lain sih), lalu diprint yang banyak (apalagi waktu itu skripsi saya tentang film, jadi banyak gambarnya, jatohnya jadi mahal T.T), kemudian ditandatangani para dosen penguji, lalu ke sub bagian akademik untuk dicap, ke perpus buat di-upload, minta surat bebas pustaka, surat berhasil unggah dsb. Akhirnya... ya akhirnya... saya tepar! Pertamanya sih, merasa kelelahan doang karena harus bolak balik ke sana ke mari dan di rumah juga ada kerjaan bersih-bersih rumah dll. Di saat-saat itu, saya menanti hari-hari datang bulan agar setidaknya bisa ‘istirahat’. Sebenarnya sudah tanggalnya, tapi entah mengapa waktu itu belum datang juga.

Tepat pada tanggal 23 Juli, saya berada di titik paling nadir. Waktu itu sambil menunggu jilid-an di perpustakaan, saya sudah kliyengan dan berpikir untuk membatalkan puasa. Tapi, saya tetap bertahan. Akhirnya, saya pulang naik ojek dari perpus UI sampai rumah di Cibubur. Di perpus, saya masih bisa senyum kepada abang ojek, tapi di gang rumah, saya sudah hampir pingsan. Mungkin karena diterpa angin di perjalanan. Saya menepuk-nepuk tangan agar tetap sadar dan terus  istigfar. Pokoknya jangan sampai pingsan.

Turun dari ojek di depan rumah, sepeda baru Poligon Lite saya ternyata sudah tiba (memang pesanan diantar hari itu). Namun, karena masuk angin super (saya kira waktu itu) tsb, tiadalah nafsu untuk melihat sepeda barang secuilpun. Sama sekali. Gerbang dikunci, saya teriak-teriak sambil menangis minta dibukakan segera. Tas berisi jilidan skripsi yang sudah direvisi saya lempar ke atas sofa dan saya minta adik saya untuk mengurus ongkos si tukang ojek. Sementara saya minta teh hangat dan minta dikerok oleh ibu saya. Masuk rumah langsung rebahan dan selimutan. Saya ingat, tetangga saya yang sedang bantu setrika di ruang tamu berkata waktu itu, “Ya ampun, Ti, Pucet banget mukanya!”. Saya tambah shock. Saya batalkan puasa segera setelah ibu menyodorkan teh manisnya.

Tanggal 24, saya haid! Alhamdulillah! Akhirnyaaa bisa istirahat juga. Btw, saya ini paling malas pergi ke dokter karena tidak bisa minum obat pil dan kapsul, bisanya hanya sirup dan puyer (padahal umur sudah tua :p). Tapi, beberapa hari ke depannya, saya akhirnya ke dokter karena demam sangat tinggi. Mata sampai merah. Semalaman tidak bisa tidur. Ya, saya kira itu adalah demam terparah saya selama saya hidup. Kacau benar sama sekali tidak bisa tidur! Panas sekali dengan kaki yang kedinginan, persendian sakit, kepala pusing, dan perut mual serta muntah-muntah.

EMERGENCY!!!!

Tanggal 27, sore harinya, saya merasa sangat tidak kuat lagi untuk bertahan dan sempat berpikir mungkin saya terkena tipus. Panas dan demam memang sudah reda, tetapi saya mulai merasa sesak nafas dan denyut nadi saya rasakan sangat lemah. Perut juga masih mual dan sulit menerima makanan. Selalu muntah. Jadilah badan saya lemah selemah lemahnya. Di sore itu, akhirnya saya minta dibawa ke klinik Oyot Haji di Bekasi (beliau paman ibu saya). Saya dibawa pakai mobil tetangga yang waktu itu supirnya sungguh ingin sekali saya cekek lehernya. Bayangkan! Saya sedang bengek-bengek begitu, dia bertanya di dalam mobil, “Saya boleh merokok?”. Sontak langsung saya jawab, “Jangan, Pak! Jangan!!!!” DASAR GILA!

Sesampainya di tujuan, saya disambut oleh saudara saya yang baik hati, Si Gustiani. Wajahnya damai dan melihat saya yang kliyengan, ia terlihat begitu panik dan menyuruh saya masuk ke dalam. Saat cipika cipiki dengannya saja sebenarnya saya sudah tidak kuat lagi berdiri sehingga setelah itu, saya langsung jongkok ditempat. Masuk ke penginapan di klinik, saya langsung diinfus dan diambil darah. Keesokan harinya, jengjengjeng! TERNYATA DEMAM BERDARAH! Trombositnya hanya 7000, padahal normalnya 110.000 (saya lupa satuannya apa, CMIIW).

Koplaknya adalah, sebelumnya, Si Dokter a.k.a adik sepupu ibu saya dan sekaligus kakaknya Gustiani, bernama Teteh Zubaidah, kurang fokus dalam melihat hasil laboratorium. Ia berkata saya hanya kelelahan dan semua normal. Namun, ketika Oyot Haji (bapaknya Teteh Zubaidah dan Gustiani) membaca kertas itu... “Ya Allah, Ti! Iyeu mah demam berdarah atuh! DBD! Trombositnya sakiyeu teh di bawah normal!” Beliau begitu panik. Saya mendengar hal itu, jujur, antara amazing dan takut. Amazing bahwa saya kena DBD maksudnya karena saya belum pernah dirawat di RS dan ketika dirawat, penyakitnya super sekali (#nada gaya Mario Teguh), DBD! Dan tentang perasaan takut, ya off course ya cuy. Ya kalee ente seneng kena DBD. Amazing beda ya sama senang. Kan banyak yang ‘lewat’ karena DBD ane juga takut ‘lewat’ laaah. Ini beneran! Saya berdoa dan berharap sama Allah supaya diberi kesembuah dan jangan ‘diambil’ saat itu karena jujur merasa belum berbuat apa-apa untuk kedua orang tua, keluarga, nusa dan bangsa saya serta masih merasa berlumur dosa T.T

Oyot Haji bertambah panik ketika mengetahui saya mengeluarkan darah (padahal itu kan darah haid). Tapi, memang tubuh kita ini punya kedinamisan ya? Jadi, ketika tubuh saya sedang drop sekali, saya haidnya berhenti. Sama sekali berhenti padahal baru beberapa hari (normal haid kan seminggu). Setelah lumayan banyak diinfus, haidnya muncul lagi. Nah, Oyot Haji mengira itu darah karena pembuluh darah yang pecah akibat DBD (gila!! itu sih serem abis!). Untungnya saya belum ada pendarahan seperti itu. Alhamdulillah...

Teman-teman kantor bapak saya, saudara-saudara, menjenguk saya. Di saat itu, saya merasa terharu untuk pertama kalinya. Saya menghabiskan 29 botol infus. Keren, kan? Dan tangan saya tidak bengkak, Hehehe. Itu bagus katanya. Kurang lebih selama 10 hari saya dirawat di Bekasi. Setelah pulang ke rumah, para tetangga menjenguk lagi dan saya terharu lagi ^^. Sementara itu, Idul Fitri telah menunggu di ujung jalan. Untung saya sudah pulang sebelum Ied. Jadilah saya sendiri menunggu di rumah saat Lebaran karena masih dalam masa pertumbuhan, eh maksudnya penyembuhan. Tahun itu, saya utang puasa 16 hari karena DBD!

(penampakan tangan setelah cabut infus)

Oh iya, untungnya waktu sakit, saya tinggal mengurusi pembayaran wisuda dan menunggu tulisan di SIAK NG berubah menjadi lulusan. Yang upload foto saja adik saya di klinik. Iya, jadi laptop dibawa dari rumah dan adik saya yang kedua juga sampai bolos sekolah gara-gara saya sakit (dia masuk angin kehujanan pas pulang dari Bekasi).

(Ijay dan Fatimah yang setia menunggu akyuu :p)

Okay, random dari skripsi berpindah ke DBD dan sekarang ke mana lagi, ya? (Cek kalender lagi...). Hemm, wah wisuda ternyata!! Tapi, sekarang sudah jam dua dini hari, sepertinya sudah cukup. Nanti saya buat part 2 nya saja, ya! Hehehe. Sekarang mari rapi-rapi dan tidur untuk interview kerja esok pagi :p. Btw, thx for reading my posting ya ^^    

Sabtu, 10 Agustus 2013

Diri dan Identitas

1.1.Definisi Diri (Self)
Menurut George Herbert Mead, diri atau the self adalah sesuatu kemampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain sehingga kita dapat menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara “normal”. Dipandang dari sudut kaum interaksionis, diri dibentuk dan diubah melalui interaksi dengan orang lain. Seseorang tidak dilahirkan dengan suatu diri yang sebelumnya telah terbentuk. Melalui penggunaan simbol-simbol, orang belajar untuk menerima sikap, nilai, dan rasa hati yang sesuai dengan lingkungan sosial tertentu tempat seseorang berada (1985:106).
Seseorang dapat mengembangkan dirinya. Mead menjelaskan bahwa pengembangan diri terdiri atas dua tahap yang berbeda, yaitu tahap permainan (the play stage) dan tahap pertandingan (the game stage). Tahap permainan merupakan suatu periode di dalam hidup seorang anak ketika ia membina kemampuan untuk benar-benar menerima ciri-ciri yang berkaitan dengan orang-orang yang memainkan peranan-peranan tertentu. Sementara itu, tahap pertandingan merupakan tahap yang di dalamnya terdapat suatu keterpaduan pasti yang dimasukkan ke dalam organisasi diri-diri yang lain (1985:108-111).
Mead dalam teori sosialisasinya menyatakan bahwa diri mempunyai dua komponen, yaitu I dan me. Komponen me dalam diri mewakili segi yang lebih konvensional, yaitu segi yang memberikan tanggapan pada konvensi-konvensi sosial. Bertentangan dengan itu, Komponen I dalam diri mewakili faktor-faktor pribadi yang khas yang memasuki komunikasi kita dengan orang lain (1985:112). Sunarto menyederhanakan komponen me sebagai segi konvensional dari diri yang telah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya sedangkan I adalah segi khas dari diri yang belum tersosiolisasi, yang bersifat subjektif, dan tidak dapat diramalkan sebelumnya (1985: xvi).
(Sumber: Karp dan Yoels. Symbols and Society: Understanding Interaction. New York: Harper & Row Publisher, 1979 diterjemahkan dalam Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1985)
Konsepsi mengenai diri dapat ditunjukkan melalui pakaian yang dikenakan seseorang. Menurut Henslin, pakaian merupakan bagian yang sangat biasa dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bahan penelitian dalam sosiologi. Seseorang mempunyai suatu gambaran tertentu mengenai dirinya sendiri, mengenai siapa dan apa dirinya itu, dan melalui pakaian seseorang mengkomunikasikan kepada orang lain beberapa aspek dari konsepsi mengenai diri (1985:126).
(Sumber: Henslin, James M. Introduction to Sociology: Situations and Structures. New York: Harper & Row Publisher, 1973 diterjemahkan dalam Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1985)

1.2. Definisi Identitas (Identity)
Dalam kehidupan sosial, identitas seseorang merupakan hal yang penting. Identitas yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi kehidupannya bersama orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas memiliki dua makna, yaitu (1) ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; (2) jati diri (2008:538).
Sementara itu, menurut Tajfel (1978) dalam artikel ilmiah Steven Greene yang berjudul Social Identity Theory and Party Identification, identitas didefinisikan sebagai that part of an individual’s self consept which derives from his knowledge of his membership of a group (or groups) together with the value and emotional significance attached to the membership (2004:137). Tajfel mendefinisikan identitas sosial sebagai bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan mengenai keanggotaannya dalam sebuah kelompok atau kelompok-kelompok bersamaan dengan makna nilai dan emosional yang melekat pada keanggotaannya.

(Sumber: Greene, Steven. Social Identity Theory and Party Identification. North Carolina: Social Science Quaterly, vol 85, 2004)

Menurut Henslin, identitas diperoleh melalui keikutsertaan atau keanggotaan dalam hubungan-hubungan sosial (1985:127).

(Sumber: Henslin, James M. Introduction to Sociology: Situations and Structures. New York: Harper & Row Publisher, 1973 diterjemahkan dalam Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1985)

Macam-macam identitas.
1.      Personal identity (identitas pribadi) : menurut Fearon, personal identity is a set of attributes, beliefs, desires, or princeiples of action that a person thinks distinguish her in socially relevant ways and that (a) the person takes a special pride in; (b) the person takes no special pride in, but which so orient her behavior that she would be at a loss about how to act and what to do without them; or (c) the person feels she could not change even if she wanted to (1999:25).
2.      Social identity (identitas sosial) : menurut Wendt (1994, 395) dalam What Is Identity (As We Now Use The Word)?, social identities are sets of meanings that an actor attributes to itself while taking the perspective of others, that is, as social object. ... [Social identities are] at once cognitive schemas that enable an actor to determine ‘who I am/we are’ in a situation and position in a social role structure of shared understandings and expectations (Fearon, 1999:5).
3.      National identity (identitas nasional) : menurut Bloom (1990, 52) dalam What Is Identity (As We Now Use The Word)?, national identity describes that condition in which individuals and collectivities are distinguished in their social relations with national symbols – have internalised the symbols of the nation... (Fearon, 1999:4).

(Sumber: Fearon, James D. What Is Identity (As We Now Use The Word). Stanford University, 1999)



Narasi

(*dari berbagai buku sumber*)

1.1. Pengertian Narasi
Narasi atau cerita merupakan unsur yang penting dalam sebuah film fiksi. Narasi menjadi alat untuk menyampaikan makna dan pesan dalam teks film fiksi kepada penonton sehingga penonton dapat mudah memahami isi film tersebut. Menurut Keraf, narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Narasi mencakup dua unsur dasar, yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Keraf kemudian mendefinisikan bahwa narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu (2000:135-136). Struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya: perbuatan, penokohan, latar, dan sudut pandangan. Tetapi dapat juga dianalisa berdasarkan alur (plot) narasi (2000:145).
Keraf membagi narasi menjadi dua kategori, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Tetapi di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini disebut narasi sugestif (2000:136). Narasi dalam film fiksi masuk ke dalam kategori kedua, yaitu narasi sugestif. Hal itu disebabkan oleh tujuan film fiksi yang bertujuan menyampaikan makna dan pesan serta memberikan hiburan, namun tidak untuk memberikan informasi. Memang sangat dimungkinkan, film fiksi juga dapat memberikan informasi-informasi baru kepada penontonnya, namun sebenarnya hal tersebut tidak menjadi tujuan utama.
Menurut Nurgiyantoro, aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita (1994:90). Ia menambahkan, dengan bercerita, sebenarnya pengarang ingin menyampaikan sesuatu, gagasan-gagasan, kepada kita-pembaca. Penampilan peristiwa-(-peristiwa) pada hakikatnya juga berarti pengemukaan gagasan (1944:91).
Karya sastra novel dan karya seni film fiksi memiliki kesamaan unsur utama berupa narasi atau cerita. Dalam novel, narasi adalah unsur pembentuk utama. Sementara itu, menurut Pratista, dalam film fiksi unsur pembentuknya terbagi dua, yaitu aspek naratif dan sinematik (2008:1). Aspek naratif berhubungan dengan narasi film sedangkan aspek sinematik berhubungan dengan sinematografi atau produksi film. Narasi dalam novel dan film fiksi memiliki kemiripan. Oleh karena itu, menurut Rochani Adi, metode yang dilakukan dalam mengkaji novel populer tentulah dapat berlaku juga dalam mengkaji film naratif (2011:54). Dalam kajian sastra, film yang dikaji secara intrinsik pada dasarnya sama dengan kajian intrinsik novel (2011:57).
Menurut Keraf, narasi diperlukan untuk menyiapkan pembaca untuk merasakan kepenuhan makna sebuah proses, membuat pembaca melihat, mendengar, merasakan, dan memahami peristiwa itu sebagai suatu kesatuan (2000:184). Narasi film fiksi sebagai satu kesatuan menyimpan gagasan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan unsur-unsur struktur narasi untuk menganalisis bagaimana gagasan mengenai issue identitas diungkapkan dalam penelitian  kali ini. 

1.2. Tema
Menurut Sudjiman, tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (1988:50). Sudjiman menambahkan, tema itu kadang-kadang didukung oleh pelukisan  latar, tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan (1988:51). Sementara itu, menurut Junaedi, tema merupakan  persoalan yang kuat daya penariknya yang merangsang atau menjadi sumber informasi pengarang untuk menulis (1994:71). Junaedi menambahkan, tema berbeda dengan topik karena topik dapat segera diketahui setelah kita selesai membaca cerita sedangkan untuk memahami tema, diperlukan perenungan dan pemahaman yang lebih mendalam  (1994:72).

1.3. Tokoh
Pada sebuah narasi, terdapat tokoh-tokoh yang bertugas menjalankan peran masing-masing. Berbeda dalam narasi novel, tokoh dalam film fiksi dapat dilihat langsung oleh mata. Hal tersebut disebabkan oleh media yang berbeda. Novel menggunakan media tulisan sedangkan film menggunakan media audiovisual.
Dalam film fiksi, imajinasi yang dibangun tentang seorang tokoh menjadi lebih konkrit karena perwujudan tokoh sudah dapat dilihat langsung oleh mata. Mari kita bayangkan ada seorang tokoh wanita bergaun merah yang cantik. Jika tokoh tersebut muncul dalam novel, maka imajinasi yang dibangun pembaca akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Orang Indonesia yang akhir-akhir ini berpikir bahwa cantik itu putih, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu berkulit putih. Sementara itu, orang Afrika yang berpendapat bahwa cantik itu gemuk karena identik dengan kesuburan, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu bertubuh gemuk. Kecuali, dalam teks selanjutnya dijelaskan lebih detail bahwa tokoh wanita tersebut kurus, kulitnya kuning, keturunan China dan sebagainya. Maka imajinasi tokoh akan sama untuk setiap orang.
Tokoh dapat diklasifikasikan menurut fungsi tokoh dalam cerita dan cara menampilkan tokoh dalam cerita. Sudjiman menjelaskan hal ini dengan terstruktur dalam bukunya, Memahami Cerita Rekaan (1988).
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, Sudjiman mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang menjadi sentral atau pusat dalam cerita. Di dalam tokoh sentral, terdapat dua kategori lagi, yaitu protagonis dan antagonis. Menurut Sudjiman, protagonis adalah tokoh yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan (1988:18). Dalam istilah lain, kita menyebut protagonis dengan tokoh utama. Sudjiman menambahkan bahwa kriterium yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita (1988:18). Antagonis adalah tokoh lawan dari protagonis. Bahkan dapat menjadi musuh dari protagonis. Sementara itu, Grimes (1975:43-44) dalam Memahami Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Sudjiman, 1988:19).
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita, Sudjiman juga mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh datar dan tokoh bulat. Analisis sifat atau watak tokoh dalam cerita menjadi sebuah cara untuk mengetahui seorang tokoh merupakan tokoh datar atau tokoh bulat. Menurut Sudjiman, tokoh datar adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya yang dominan saja yang disoroti (1988:21). Dalam kata lain, tidak ada perkembangan dalam watak tokoh datar. Berkebalikan dengan itu, tokoh bulat adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya mengalami perkembangan dan perubahan.
Teori tentang tokoh juga dijelaskan oleh Junaedi dalam bukunya Apresiasi Sastra Indonesia (1994). Menurut Junaedie, berdasarkan pada peran yang diperankan oleh seorang pelaku, dikenal adanya pelaku utama, pelaku kedua, pelaku pembantu, dan pelaku figuran. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang peranan utama cerita. Pelaku utama ini merupakan penyebab atau sumber terjadinya cerita. Arah pengisahan tertuju kepada pelaku utama. Frekuensi keterlibatan pelaku utama dalam setiap suasana lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku lain. Pelaku utama ini terdiri dapat dari dari dua orang, yaitu pelaku utama yang pertama dan pelaku utama yang kedua. Peran pelaku utama yang kedua hampir sama dengan pelaku utama yang pertama. Perbedaannya terletak pada derajat keterlibatannya dalam cerita. Pelaku utama yang pertama terlibat secara langsung dalam setiap situasi sehingga ia pun merasakan secara langsung akibat-akibat yang timbul dari situasi itu sedangkan pelaku utama yang kedua, sekalipun ia juga dapat terlibat langsung, namun keterlibatannya itu terjadi karena ia terkait dengan pelaku utama yang pertama (1994:79).
Menurut Junaedi, pelaku kedua adalah pelaku yang mengimbangi atau yang membayang-bayangi atau bahkan menjadi musuh pelaku utama. Pelaku kedua ini juga dapat terdiri lebih dari satu orang. Sementara itu, pelaku pembantu adalah pelaku yang ikut mendukung atau turut memperlancar peranan pelaku utama atau pelaku kedua dan pelaku figuran adalah pelaku-pelaku dalam cerita yang tidak jelas peranannya (1994:81).

1.4. Penokohan
Penokohan dalam narasi penting untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Menurut Sudjiman (1986:58) dalam Memahami Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1988:23). Sementara itu, Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (1994:165).
Menurut Junaedi, penokohan atau karakterisasi adalah pengsifatan pelaku dengan karakter tertentu. Pada dasarnya, ada dua cara yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan karakter pelaku cerita, yaitu (1) secara langsung dan (2) tidak langsung (1994:82). Penggambaran pelaku secara langsung, yaitu pengarang mendeskripsikan sifat atau karakter pelaku sedangkan penggambaran pelaku secara tidak langsung dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti:
a)      penggambaran karakter melalui gambaran bentuk tubuh pelaku;
b)      penggambaran karakter pelaku lewat jalan pikiran atau sesuatu yang terlintas dalam pikiran pelaku;
c)      penggambaran karakter didasarkan pada reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu;
d)     penggambaran karakter pelaku dengan cara melukiskan kebiasaan dan keadaan lingkungannya;
e)      penggambaran karakter pelaku melalui sikap atau pandangan pelaku lain;
f)       pengarang menggambarkan karakter pelaku (utama) melalui perbincangan pelaku lain (1994:83-89).
Melalui penokohan, tokoh memiliki sifat dan watak yang khas sehingga dapat membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain. Fungsi penokohan sangat penting dalam sebuah narasi karena tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya akan menjadi tidak bermakna karena tidak memiliki sifat dan watak.

1.5. Latar
Latar merupakan unsur dalam narasi yang menunjukkan tempat, waktu, dan suasana tertentu. Menurut Rochani Adi, setting atau latar maksudnya tempat dan masa terjadinya cerita. Sebuah cerita haruslah jelas di mana dan kapan kejadian itu berlangsung (2011:49).
Sementara itu, menurut Nurgiyantoro, unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketika unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. (1994:227). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (1994:230). Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (1994:233-234).
Latar dapat menggunakan tempat yang benar-benar ada di dunia, seperti kota Jakarta, kampus Universitas Indonesia, ataupun wilayah yang lebih kecil lagi. Namun, latar juga dapat menggunakan tempat rekaan yang sebenarnya tidak ada di dunia, seperti sekolah sihir Hogwarts dalam novel dan film Harry Potter atau middle earth dalam novel dan film The Lord of The Rings.

1.6. Sudut Pandang
Sudut pandang memiliki istilah-istilah lain yang memiliki makna yang sama, yaitu titik pengisahan dan point of view. Menurut Junaedi, sudut pandangan adalah cara yang digunakan  pengarang mengisahkan ceritanya, yaitu  pada sudut mana pengarang berdiri ketika ia menyusun ceritanya (1994:101). Sementara itu, menurut Abrams (1981:142) dalam  Teori Pengkajian Fiksi, berpendapat bahwa sudut pandang merupakan cara  dan atau  pandangan  yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1994:248).
Nurgiyantoro membagi sudut pandang  ke dalam beberapa macam, yaitu:
1.      sudut pandang persona ketiga: “dia”, yaitu narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga: “dia” terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu “dia” mahatahu  (the omniscient point of view) dan “dia” terbatas atau “dia”sebagai pengamat;
2.      sudut pandang persona pertama: “aku”, yaitu  narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama: “aku” terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu  “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan;
3.      sudut pandang campuran, yaitu ketika pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah  cerita yang dituliskannya (1994:256-266).

Sudut pandang di dalam sebuah film memiliki keunikan sendiri dibandingkan sudut pandang di dalam sebuah  novel. Hal itu disebabkan oleh penggunaan kamera sebagai titik sudut pandang. Menurut Rochani Adi, dalam film, sudut pandang selalu sama dengan mata kamera dan penonton tidak mempunyai cara lain selain mengikuti arah ke mana kamera ditujukan (2011:58).  
Di lain sisi, sudut pandang atau point of view dalam novel memiliki kemiripan dengan batasan informasi cerita dalam film. Menurut Pratista, pembatasan informasi cerita merupakan  hal yang sangat penting dalam sebuah film dan seeorang sineas memiliki kontrol atau pilihan terhadap batasan informasi cerita. Batasan informasi cerita dalam sebuah film dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni penceritaan terbatas (retricted narration) dan penceritaan tak terbatas (omniscient narration) (2008:39). Penceritaan terbatas (retricted narration) adalah informasi cerita yang dibatasi dan terikat hanya pada satu orang karakter saja. Penonton hanya mengetahui serta mengalami peristiwa seperti apa yang diketahui dan dialami oleh karakter yang bersangkutan. Mata kamera tidak pernah meninggalkan karakter utama dan selalu mengikuti ke mana pun ia pergi (2008:39-40).  Penceritaan tak terbatas (omniscient narration) adalah  informasi cerita yang tidak terbatas hanya pada satu karakter saja. Kamera dapat meloncat dari satu karakter ke karakter lain dan bebas menangkap segala peristiwa atau obyek apapun (2008:41).

1.7. Alur/Plot
Alur menjadi unsur yang begitu penting dalam sebuah narasi. Alur atau plot dan narasi atau cerita berkaitan satu sama  lain. Menurut Nurgiyantoro, cerita dan plot merupakan  dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Dasar pembicaraan cerita adalah  plot dan dasar pembicaraan plot adalah cerita. Namun, plot lebih bersifat kompleks daripada cerita (1994:93-94).
Menurut Stanton (1965:14) dalam Teori Pengkajian Fiksi, plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian  itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 1994:113). Menurut Junaedi, alur adalah perangkaian peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam hubungan yang logis dan bersifat kausalitas sehingga terbentuk satu kesatuan cerita yang utuh (1994:90). Sudjiman berpendapat bahwa alur adalah tulang punggung cerita yang dibangun oleh berbagai peristiwa yang disajikan dalam  urutan  tertentu (1988:29).
Menurut Keraf, alur terbagi dalam tiga struktur, yaitu:
a.       pendahuluan, yaitu struktur pertama yang menghasilkan perbuatan yang muncul dari sebuah situasi yang harus mengandung unsur-unsur yang mudah meledak atau mampu meledakkan (setiap saat situasi dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan);
b.      perkembangan, yaitu struktur kedua yang menjadi batang tubuh utama dari seluruh tindak-tanduk para tokoh dan mencakup adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan atau menggawatkan komplikasi yang berkembang dari situasi asli;
c.       penutup, yaitu struktur ketiga yang menjadi bagian yang merupakan titik ketika struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya (2000:150-154).

Dalam film, alur atau plot dapat dianalisis melalui sekuennya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam film dibangun dalam sebuah audiovisual yang terbagi dalam beberapa bagian. Bagian kecil disebut adegan sedangkan bagian yang lebih besar disebut sekuen. Menurut Pratista, sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen biasanya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu sekuen dapat dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang (2008:29-30).

1.8. Konflik
Menurut Junaedi, konflik adalah krisis atau pertentangan yang terjadi antara kedua kekuatan yang masing-masing ingin mengalahkan atau menghancurkan yang lain. Konflik tersebut dapat terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, antara manusia dengan alam sekitar seperti kebiasaan atau adat istiadat, bahkan mungkin saja konflik itu terjadi dalam diri manusia. Kelahiran dan kematian, perkawinan dan perceraian, kejahatan dan kebenaran, perang dan damai, ketakutan dan keberanian, dan sebagainya semuanya dapat menjadi sumber timbulnya konflik (1994:120).
Sementara itu, menurut Keraf, konflik menjadi sebuah titik ketika makna dalam sebuah narasi hampir selalu muncul (2000:167). Sama seperti Junaedi, Keraf juga membagi konflik menjadi tiga macam walaupun ada beberapa unsur yang berbeda. Ketiga konflik tersebut , yaitu:
a)      konflik melawan alam, yaitu suatu pertarungan yang dilakukan oleh seorang tokoh atau manusia secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melawan kekuatan alam yang mengancam hidup manusia itu sendiri;
b)      konflik antarmanusia, yaitu pertarungan seorang melawan seorang manusia yang lain, seorang melawan kelompok yang lain yang berkuasa, suatu kelompok melawan kelompok yang lain, sebuah negara melawan negara yang lain karena hak-hak mereka diperkosa;

c)      konflik batin, yaitu pertarungan individual melawan dirinya sendiri, dalam konflik ini timbul kekuatan-kekutan yang saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan, kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan kedermawanan, dan sebagainya (2000:168-169).