Senin, 13 April 2015

Setiap Manusia itu… Berproses.



Assalamualaykum…

Selama dua puluh empat tahun hidup di dunia, ada masanya saya sibuk mengamati perubahan pada diri orang lain. Kalau diingat-ingat, sepertinya mulai dari SMA saya suka mengamati orang lain. Baik laki-laki atau perempuan. Saya melihat semakin banyak paham dan keberagaman pendapat manusia akan suatu hal, salah satunya dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ada yang fanatik, ada yang pertengahan, ada yang salah paham, ada yang bodo amatan, dan ada pula yang membenci ajaran Islam. Semuanya saya amati.

Di sisi lain, saya bersyukur karena dalam akhir pengamatan tsb, saya bisa mendapatkan hikmah-hikmah. Banyak yang saya amati, salah satunya adalah… penggunaan hijab.

Penggunaan hijab…

Saat masuk usia remaja, saya hidup dan belajar di sebuah pesantren yang menyamar menjadi sebuah sekolah negeri. Di sana, saya belajar hijab yang syari, interaksi antar ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan), dan tentunya belajar ilmu pengetahuan selayaknya di dalam sebuah sekolah negeri… tentu saja… hehehe. Namanya juga sekolah.

Di sana, awalnya, saya melihat banyak perempuan berhijab lebar sekali. Awalnya, saya tertegun melihat mereka. Antara ‘wow keren!’ dan ‘kok bisa ya? enggak gerah tuh?’. Ada kisah seorang senior, sebut saja M. Dia orangnya sangat lembut dan menjadi salah satu dari jajaran kakak-kakak mentor. Waktu kuliah, ternyata kami sekampus. Saya pernah belajar bahasa Arab sebentar dengannya. Setelah selesai kuliah, kami tak sengaja bertemu dalam sebuah pesta pernikahan rekan kami. Dan… saya terkejut melihat rupanya yang lain. Keanggunannya berhijab syari-nya menghilang.

Okay. Sebenarnya, dia masih pakai hijab, tapi dengan gaya lain dan celana yang lumayan ketat dan… ah sudahlah. Ya, saya bukan hakim sih yang bisa bilang Mbak M itu dosa dan lain sebagainya. Tapi, ada hikmah yang bisa saya ambil bahwa… setiap manusia itu berproses. Bahkan untuk Mbak M yang dulu saya kira akhwat banget. Mungkin, dia belum menemukan jati dirinya. Dirinya yang berhijab syari itu… mungkin bukan dirinya. Atau… ah entahlah!     

Sebenarnya, ada beberapa kisah lagi yang serupa. Malah waktu SMA dulu ketika kelas 1 saya lihat Mbak X (lupa namanya) berhijab syari. Eh, pas kelas 3 ada acara temu alumni, dia datang dengan kerudung kecil mencekik leher dan celana jeans ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Saya agak ragu apakah dia Mbak X yang kelas 1 dulu begitu anggun dengan hijab syari-nya atau saya salah lihat orang. Eh, ternyata benar.

Ada pula kisah sebaliknya. Kebetulan tadi abis nonton Warkop dan melihat Ineukeu Koesherawati. Dia artis yang hot seksi banget tapi sekarang berubah memakai hijab. Ya, walau belum syari menurut saya, tapi kan manusia memang butuh berproses. Mungkin saat ini dia masih berproses… Ada juga beberapa artis yang lain yang memiliki kisah serupa, tapi saya lupa namanya.

Selain itu, ada juga yang istiqomah dengan hijab syari-nya. Beberapa dari teman-teman saya… ah senang melihatnya. Entah gempuran paham apa yang sudah mereka temui, namun berhasil mereka lawan. Akhirnya, tetap syari dan anggun.

Wait, sebenarnya apa sih hijab syari itu? Sederhana saja sih menurut saya. Menutupi apa yang diperintahkan, bagi wanita yaitu seluruhnya kecuali wajah dan telapak tangan, berbahan nyaman/baik dan tidak menerawang, dan efektif serta efisien untuk pergerakan tubuh (yang ketiga ini menurut versi pribadi hehe). Tentang poin ketiga… iya, soalnya ada banyak nih akhwat yang kerudungnya kepanjangan sampe nutupin lampu motor bagian belakang atau roknya yang kepanjangan sampe kelilit di rantai motor atau bahkan kejepit di pintu mobil. Nah, syari juga harus efektif dan efisien ya, girls!  

Waktu itu



Waktu itu aku melihat kamu
Kamu memakai kemeja putih
Celana cokelat
Kita sama-sama bermata empat

Waktu itu aku melihat kamu
Kamu dan aku sama-sama berjalan ke arah yang sama
Aku dan kamu sama-sama berada di atas jalan yang sama

Waktu itu aku melihat kamu
Sosokmu begitu menyatu dengan mimpiku

Awalnya aku tak tahu itu kamu
Aku bahkan lupa nama kamu
Yang aku tahu kamu itu ya kamu
Aku sesekali merunduk malu
Kamu bahkan tak kenal aku yang malu ini
Kamu bahkan tak tahu aku yang malu ini

Waktu itu aku melihat kamu
Ternyata kamu belok ke kiri
Menyeberang dan kuduga pergi ke toko buku
Dan aku harus tetap lurus melaju ke mall depan toko bukumu

Waktu itu aku melihat kamu
Aku harap aku bisa menghentikan langkah lajuku
Untuk mengikuti langkah lajumu ke toko buku
Sekarang temanku membicarakan sosokmu
Dia bilang begitu…
Dia bilang begini…
Tentangmu

Waktu aku dan kamu bertemu di jalan itu
Ternyata waktu itu aku lupa
Bahwa aku sudah berdoa
Semoga
Aku dan kamu bisa bertemu lagi
Semoga
Allah menjagamu
Dan aku tak menyangka aku mendoakanmu waktu itu
Aku pasrah kepada Tuhanku
Jika itu kamu, ya kita pasti bertemu

Sekarang aku berdoa lagi untukmu
Tapi aku tak mau memaksa Tuhanku
Katanya, berdoa itu jangan memaksa
Berdoa itu percaya
Doa itu akan menguap ke langit
Dan berperang dengan takdir
Maka aku akan berdoa yang banyak
Juga percaya kepada Tuhanku

Hai, kamu…
Aku ingat puisiku yang malam tadi kubuat sendiri
Bahwa
Awan di langit memang sulit
Dicapai
Mustahil tangan kecil ini
Bisa mencapai
Namun Tuhan punya lain cara
Dia buat cumulonimbus
Hujan
Dan tangan ini bisa berjumpa dengan awan
Dalam waktu yang lain
Dalam bentuk yang lain
*Menggapai Awan*

Mungkin kamu sekarang layaknya sebuah awan di langit
Sepertinya terlihat sulit
Dan jarak kita begitu jauh
Tapi Tuhan begitu baik hati
Dia bisa mengubah awan menjadi air dengan begitu mudahnya
Sehingga aku dan kamu bisa bertemu
Maka, izin kan aku berdoa untukmu
Berdoa untuk diriku.

Selasa, 07 April 2015

*a true story*

Kamis, 12 Februari 2015. Sore hari dalam perjalanan pulang dari tempat ngajar, aku menaiki bus dari Tangerang menuju Jakarta. Penumpang bus lumayan sepi. Aku suka jadi aku bisa bebas memilih duduk di mana. Untuk perjalanan berangkat, aku biasanya suka duduk di sebelah kiri yang bukan dekat jendela. Tapi untuk perjalanan pulang, biasanya aku duduk di sebelah kanan dekat jendela untuk memandangi pemandangan jalan dan lampu-lampu kota.

Sore itu, kebetulan jadwalku pulang lebih awal, jadi aku tak berkesempatan melihat lampu-lampu. Tapi, aku terhanyut mendengar keasyikan obrolan dua orang pemuda di belakangku.

Seingatku, mereka berdua naik tak lama setelah aku naik, masih di daerah Tangerang. Sekilas hanya kulihat dua sosok pemuda biasa yang sibuk mencari tempat duduk. Aku sih hanya sendirian di bangku tiga itu. Aku sibuk membaca buku parenting sambil sesekali memandangi jalan yang basah karena gerimis. Awalnya, kukira mereka akan duduk bersamaku. Ternyata mereka duduk tepat di belakangku.

Setengah perjalanan, aku masih sibuk dengan bukuku. Sesekali aku mendengar obrolan mereka. Pertama, aku suka jenis suara seorang di antara mereka. Entahlah bagaimana caranya aku harus mendeskripsikan. Lembut sekaligus bersahaja, tapi juga imut dan tegas berkharisma. Nah lho. Bingung? Entahlah aku sendiri juga sulit menggambarkan. Aku sudah bilang, kan?

Mereka terdengar membicarakan pekerjaan dan rekan-rekan mereka. Tanpa ada pergunjingan khas ibu-ibu. Sesekali mereka tertawa lepas. Yang aku ingat, ketika pemuda 1 (yang suaranya kusuka) membicarakan Pak Pram yang suka mengajak ia makan dan bahkan memesankan makanan padahal ia sudah bilang kalau dirinya shaum. Ya, pemuda 1 tidak bilang 'puasa' tapi 'shaum'. Waktu rohis di sekolah dulu, aku pernah dengar bedanya kedua kata tsb. Muslim lebih baik menggunakan kata shaum daripada puasa karena puasa bisa dilakukan oleh non muslim juga. Aku kira 'shaum' juga artinya puasa. Mungkin secara maknawiyah agak berbeda, ya? Nanti kutanya lebih jauh deh sama temanku yang jago bahasa Arab. Hehe.


Aku tersenyum kecil ketika pemuda 1 itu terkekeh mengingat kelakuan Pak Pram. Cerita dia, waktu istirahat itu, daripada pergi ke kantin, ia ingin pergi mengecek gudang saja lalu pergi ke mushola untuk tidur karena ia sedang shaum. Eh Pak Pram mungkin salah dengar atau apa, tetap saja memesankan makanan. Menurutku, itu lucu dan aku tertawa sendiri di dalam hati.

Pemuda 2... entahlah. Telingaku tak fokus pada suaranya. Seingatku, dia hanya mengiyakan dan bertanya lalu ikut berpendapat kemudian tertawa bersama. Sementara pemuda 1 berkata bahwa dalam waktu dekat ia harus memenuhi panggilan. Aku tak tahu entah panggilan kerja lain atau panggilan macam apa. Tapi yang kusuka adalah segera setelah itu, ia bilang kalau dirinya harus lebih banyak berdoa supaya lancar. Entah mengapa, saat itu aku merasa kami berdua mirip. Mungkin karena aku baru saja mengalami hal serupa: diberi tantangan dan cobaan, aku berusaha berdoa dan pasrah kepada Allah, terus beberapa waktu lama kemudian, dikabulkan doanya.

Aku mulai jatuh hati.

Mereka lanjut membicarakan hal yang agak tak kumengerti. Intinya tentang keluarga. Aku tak tahu keluarga siapa yang sedang mereka bicarakan. Tapi pemuda 1 mengatakan bahwa dari ketiga hal ini: istri, anak, atau ibu, salah satunya bisa jadi aura negatif. Mungkin maksudnya, menjadi cobaan dalam hidup. Dan pemuda 1 berujar lagi, "tapi tak semuanya orang begitu."

Aku jatuh hati lagi.

Pemuda 1 mengatakan semoga berkah dan bertambah pahala karena melakukan suatu hal baik kepada temannya itu. Em, mungkin kepada seseorang di dalam cerita mereka.

Aku jatuh cinta.

Aku yakin kalau pemuda 1 itu adalah orang yang baik. Entahlah apa dirinya sudah menikah atau belum. Itu perkara lain. Setidaknya, obrolan kedua pemuda itu selama 1 jam bisa memberikan kesan kepadaku dan sedikit menggambarkan pribadi masing-masing.

Bus mendarat di pintu keluar tol dan aku segera bersiap turun. Di lain sisi, aku penasaran dengan wajah pemuda 1 itu. Aku ingin menengok ke belakang, tapi aku malu.

Jujur, aku merasa malu. Perasaan yang sangat aneh menurutku.

Pemuda 2 turun lebih dulu dan menyampaikan salam. Sementara pemuda 1 menjawab salamnya. Mereka berpisah. Entah apa pemuda 1 juga turun di situ atau di tempat lain. Yang kutahu, ia berdiri di belakangku.

Aku sibuk mengantri untuk turun lewat pintu depan, saat itu seorang wanita di depanku beralih mau lewat pintu belakang. Aku minggir, tapi tasku terlalu besar sehingga membuatnya sulit berjalan. Sampai akhirnya, si pemuda 1 berkata kepadaku.

"Pintu belakang sudah bisa kok Mbak, sudah kosong dan tak ada orang..."

Aku melihat sosoknya tak jelas karena ia menepikan dirinya dekat jendela yang tertutupi kain gorden. Aku melihat bajunya saja, kaos panjang bergaris berwarna gelap. Pemuda 1 itu perawakannya tak begitu tinggi. Setelah kata-kata itu ia lontarka, aku tak kuasa menahan rasa maluku. Aku kabur lewat pintu belakang seraya mengatakan."Oh, sorry sorry...". Bukan untuk wanita di depanku tadi karena aku sudah membuatnya sulit berjalan. Namun, untuk si pemuda itu...

Sorry, I think I like you. Hehehe…