Sabtu, 10 Agustus 2013

Diri dan Identitas

1.1.Definisi Diri (Self)
Menurut George Herbert Mead, diri atau the self adalah sesuatu kemampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain sehingga kita dapat menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara “normal”. Dipandang dari sudut kaum interaksionis, diri dibentuk dan diubah melalui interaksi dengan orang lain. Seseorang tidak dilahirkan dengan suatu diri yang sebelumnya telah terbentuk. Melalui penggunaan simbol-simbol, orang belajar untuk menerima sikap, nilai, dan rasa hati yang sesuai dengan lingkungan sosial tertentu tempat seseorang berada (1985:106).
Seseorang dapat mengembangkan dirinya. Mead menjelaskan bahwa pengembangan diri terdiri atas dua tahap yang berbeda, yaitu tahap permainan (the play stage) dan tahap pertandingan (the game stage). Tahap permainan merupakan suatu periode di dalam hidup seorang anak ketika ia membina kemampuan untuk benar-benar menerima ciri-ciri yang berkaitan dengan orang-orang yang memainkan peranan-peranan tertentu. Sementara itu, tahap pertandingan merupakan tahap yang di dalamnya terdapat suatu keterpaduan pasti yang dimasukkan ke dalam organisasi diri-diri yang lain (1985:108-111).
Mead dalam teori sosialisasinya menyatakan bahwa diri mempunyai dua komponen, yaitu I dan me. Komponen me dalam diri mewakili segi yang lebih konvensional, yaitu segi yang memberikan tanggapan pada konvensi-konvensi sosial. Bertentangan dengan itu, Komponen I dalam diri mewakili faktor-faktor pribadi yang khas yang memasuki komunikasi kita dengan orang lain (1985:112). Sunarto menyederhanakan komponen me sebagai segi konvensional dari diri yang telah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya sedangkan I adalah segi khas dari diri yang belum tersosiolisasi, yang bersifat subjektif, dan tidak dapat diramalkan sebelumnya (1985: xvi).
(Sumber: Karp dan Yoels. Symbols and Society: Understanding Interaction. New York: Harper & Row Publisher, 1979 diterjemahkan dalam Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1985)
Konsepsi mengenai diri dapat ditunjukkan melalui pakaian yang dikenakan seseorang. Menurut Henslin, pakaian merupakan bagian yang sangat biasa dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bahan penelitian dalam sosiologi. Seseorang mempunyai suatu gambaran tertentu mengenai dirinya sendiri, mengenai siapa dan apa dirinya itu, dan melalui pakaian seseorang mengkomunikasikan kepada orang lain beberapa aspek dari konsepsi mengenai diri (1985:126).
(Sumber: Henslin, James M. Introduction to Sociology: Situations and Structures. New York: Harper & Row Publisher, 1973 diterjemahkan dalam Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1985)

1.2. Definisi Identitas (Identity)
Dalam kehidupan sosial, identitas seseorang merupakan hal yang penting. Identitas yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi kehidupannya bersama orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas memiliki dua makna, yaitu (1) ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; (2) jati diri (2008:538).
Sementara itu, menurut Tajfel (1978) dalam artikel ilmiah Steven Greene yang berjudul Social Identity Theory and Party Identification, identitas didefinisikan sebagai that part of an individual’s self consept which derives from his knowledge of his membership of a group (or groups) together with the value and emotional significance attached to the membership (2004:137). Tajfel mendefinisikan identitas sosial sebagai bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan mengenai keanggotaannya dalam sebuah kelompok atau kelompok-kelompok bersamaan dengan makna nilai dan emosional yang melekat pada keanggotaannya.

(Sumber: Greene, Steven. Social Identity Theory and Party Identification. North Carolina: Social Science Quaterly, vol 85, 2004)

Menurut Henslin, identitas diperoleh melalui keikutsertaan atau keanggotaan dalam hubungan-hubungan sosial (1985:127).

(Sumber: Henslin, James M. Introduction to Sociology: Situations and Structures. New York: Harper & Row Publisher, 1973 diterjemahkan dalam Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1985)

Macam-macam identitas.
1.      Personal identity (identitas pribadi) : menurut Fearon, personal identity is a set of attributes, beliefs, desires, or princeiples of action that a person thinks distinguish her in socially relevant ways and that (a) the person takes a special pride in; (b) the person takes no special pride in, but which so orient her behavior that she would be at a loss about how to act and what to do without them; or (c) the person feels she could not change even if she wanted to (1999:25).
2.      Social identity (identitas sosial) : menurut Wendt (1994, 395) dalam What Is Identity (As We Now Use The Word)?, social identities are sets of meanings that an actor attributes to itself while taking the perspective of others, that is, as social object. ... [Social identities are] at once cognitive schemas that enable an actor to determine ‘who I am/we are’ in a situation and position in a social role structure of shared understandings and expectations (Fearon, 1999:5).
3.      National identity (identitas nasional) : menurut Bloom (1990, 52) dalam What Is Identity (As We Now Use The Word)?, national identity describes that condition in which individuals and collectivities are distinguished in their social relations with national symbols – have internalised the symbols of the nation... (Fearon, 1999:4).

(Sumber: Fearon, James D. What Is Identity (As We Now Use The Word). Stanford University, 1999)



Narasi

(*dari berbagai buku sumber*)

1.1. Pengertian Narasi
Narasi atau cerita merupakan unsur yang penting dalam sebuah film fiksi. Narasi menjadi alat untuk menyampaikan makna dan pesan dalam teks film fiksi kepada penonton sehingga penonton dapat mudah memahami isi film tersebut. Menurut Keraf, narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Narasi mencakup dua unsur dasar, yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Keraf kemudian mendefinisikan bahwa narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu (2000:135-136). Struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya: perbuatan, penokohan, latar, dan sudut pandangan. Tetapi dapat juga dianalisa berdasarkan alur (plot) narasi (2000:145).
Keraf membagi narasi menjadi dua kategori, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Tetapi di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini disebut narasi sugestif (2000:136). Narasi dalam film fiksi masuk ke dalam kategori kedua, yaitu narasi sugestif. Hal itu disebabkan oleh tujuan film fiksi yang bertujuan menyampaikan makna dan pesan serta memberikan hiburan, namun tidak untuk memberikan informasi. Memang sangat dimungkinkan, film fiksi juga dapat memberikan informasi-informasi baru kepada penontonnya, namun sebenarnya hal tersebut tidak menjadi tujuan utama.
Menurut Nurgiyantoro, aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita (1994:90). Ia menambahkan, dengan bercerita, sebenarnya pengarang ingin menyampaikan sesuatu, gagasan-gagasan, kepada kita-pembaca. Penampilan peristiwa-(-peristiwa) pada hakikatnya juga berarti pengemukaan gagasan (1944:91).
Karya sastra novel dan karya seni film fiksi memiliki kesamaan unsur utama berupa narasi atau cerita. Dalam novel, narasi adalah unsur pembentuk utama. Sementara itu, menurut Pratista, dalam film fiksi unsur pembentuknya terbagi dua, yaitu aspek naratif dan sinematik (2008:1). Aspek naratif berhubungan dengan narasi film sedangkan aspek sinematik berhubungan dengan sinematografi atau produksi film. Narasi dalam novel dan film fiksi memiliki kemiripan. Oleh karena itu, menurut Rochani Adi, metode yang dilakukan dalam mengkaji novel populer tentulah dapat berlaku juga dalam mengkaji film naratif (2011:54). Dalam kajian sastra, film yang dikaji secara intrinsik pada dasarnya sama dengan kajian intrinsik novel (2011:57).
Menurut Keraf, narasi diperlukan untuk menyiapkan pembaca untuk merasakan kepenuhan makna sebuah proses, membuat pembaca melihat, mendengar, merasakan, dan memahami peristiwa itu sebagai suatu kesatuan (2000:184). Narasi film fiksi sebagai satu kesatuan menyimpan gagasan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan unsur-unsur struktur narasi untuk menganalisis bagaimana gagasan mengenai issue identitas diungkapkan dalam penelitian  kali ini. 

1.2. Tema
Menurut Sudjiman, tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (1988:50). Sudjiman menambahkan, tema itu kadang-kadang didukung oleh pelukisan  latar, tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan (1988:51). Sementara itu, menurut Junaedi, tema merupakan  persoalan yang kuat daya penariknya yang merangsang atau menjadi sumber informasi pengarang untuk menulis (1994:71). Junaedi menambahkan, tema berbeda dengan topik karena topik dapat segera diketahui setelah kita selesai membaca cerita sedangkan untuk memahami tema, diperlukan perenungan dan pemahaman yang lebih mendalam  (1994:72).

1.3. Tokoh
Pada sebuah narasi, terdapat tokoh-tokoh yang bertugas menjalankan peran masing-masing. Berbeda dalam narasi novel, tokoh dalam film fiksi dapat dilihat langsung oleh mata. Hal tersebut disebabkan oleh media yang berbeda. Novel menggunakan media tulisan sedangkan film menggunakan media audiovisual.
Dalam film fiksi, imajinasi yang dibangun tentang seorang tokoh menjadi lebih konkrit karena perwujudan tokoh sudah dapat dilihat langsung oleh mata. Mari kita bayangkan ada seorang tokoh wanita bergaun merah yang cantik. Jika tokoh tersebut muncul dalam novel, maka imajinasi yang dibangun pembaca akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Orang Indonesia yang akhir-akhir ini berpikir bahwa cantik itu putih, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu berkulit putih. Sementara itu, orang Afrika yang berpendapat bahwa cantik itu gemuk karena identik dengan kesuburan, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu bertubuh gemuk. Kecuali, dalam teks selanjutnya dijelaskan lebih detail bahwa tokoh wanita tersebut kurus, kulitnya kuning, keturunan China dan sebagainya. Maka imajinasi tokoh akan sama untuk setiap orang.
Tokoh dapat diklasifikasikan menurut fungsi tokoh dalam cerita dan cara menampilkan tokoh dalam cerita. Sudjiman menjelaskan hal ini dengan terstruktur dalam bukunya, Memahami Cerita Rekaan (1988).
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, Sudjiman mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang menjadi sentral atau pusat dalam cerita. Di dalam tokoh sentral, terdapat dua kategori lagi, yaitu protagonis dan antagonis. Menurut Sudjiman, protagonis adalah tokoh yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan (1988:18). Dalam istilah lain, kita menyebut protagonis dengan tokoh utama. Sudjiman menambahkan bahwa kriterium yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita (1988:18). Antagonis adalah tokoh lawan dari protagonis. Bahkan dapat menjadi musuh dari protagonis. Sementara itu, Grimes (1975:43-44) dalam Memahami Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Sudjiman, 1988:19).
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita, Sudjiman juga mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh datar dan tokoh bulat. Analisis sifat atau watak tokoh dalam cerita menjadi sebuah cara untuk mengetahui seorang tokoh merupakan tokoh datar atau tokoh bulat. Menurut Sudjiman, tokoh datar adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya yang dominan saja yang disoroti (1988:21). Dalam kata lain, tidak ada perkembangan dalam watak tokoh datar. Berkebalikan dengan itu, tokoh bulat adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya mengalami perkembangan dan perubahan.
Teori tentang tokoh juga dijelaskan oleh Junaedi dalam bukunya Apresiasi Sastra Indonesia (1994). Menurut Junaedie, berdasarkan pada peran yang diperankan oleh seorang pelaku, dikenal adanya pelaku utama, pelaku kedua, pelaku pembantu, dan pelaku figuran. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang peranan utama cerita. Pelaku utama ini merupakan penyebab atau sumber terjadinya cerita. Arah pengisahan tertuju kepada pelaku utama. Frekuensi keterlibatan pelaku utama dalam setiap suasana lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku lain. Pelaku utama ini terdiri dapat dari dari dua orang, yaitu pelaku utama yang pertama dan pelaku utama yang kedua. Peran pelaku utama yang kedua hampir sama dengan pelaku utama yang pertama. Perbedaannya terletak pada derajat keterlibatannya dalam cerita. Pelaku utama yang pertama terlibat secara langsung dalam setiap situasi sehingga ia pun merasakan secara langsung akibat-akibat yang timbul dari situasi itu sedangkan pelaku utama yang kedua, sekalipun ia juga dapat terlibat langsung, namun keterlibatannya itu terjadi karena ia terkait dengan pelaku utama yang pertama (1994:79).
Menurut Junaedi, pelaku kedua adalah pelaku yang mengimbangi atau yang membayang-bayangi atau bahkan menjadi musuh pelaku utama. Pelaku kedua ini juga dapat terdiri lebih dari satu orang. Sementara itu, pelaku pembantu adalah pelaku yang ikut mendukung atau turut memperlancar peranan pelaku utama atau pelaku kedua dan pelaku figuran adalah pelaku-pelaku dalam cerita yang tidak jelas peranannya (1994:81).

1.4. Penokohan
Penokohan dalam narasi penting untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Menurut Sudjiman (1986:58) dalam Memahami Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1988:23). Sementara itu, Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (1994:165).
Menurut Junaedi, penokohan atau karakterisasi adalah pengsifatan pelaku dengan karakter tertentu. Pada dasarnya, ada dua cara yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan karakter pelaku cerita, yaitu (1) secara langsung dan (2) tidak langsung (1994:82). Penggambaran pelaku secara langsung, yaitu pengarang mendeskripsikan sifat atau karakter pelaku sedangkan penggambaran pelaku secara tidak langsung dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti:
a)      penggambaran karakter melalui gambaran bentuk tubuh pelaku;
b)      penggambaran karakter pelaku lewat jalan pikiran atau sesuatu yang terlintas dalam pikiran pelaku;
c)      penggambaran karakter didasarkan pada reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu;
d)     penggambaran karakter pelaku dengan cara melukiskan kebiasaan dan keadaan lingkungannya;
e)      penggambaran karakter pelaku melalui sikap atau pandangan pelaku lain;
f)       pengarang menggambarkan karakter pelaku (utama) melalui perbincangan pelaku lain (1994:83-89).
Melalui penokohan, tokoh memiliki sifat dan watak yang khas sehingga dapat membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain. Fungsi penokohan sangat penting dalam sebuah narasi karena tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya akan menjadi tidak bermakna karena tidak memiliki sifat dan watak.

1.5. Latar
Latar merupakan unsur dalam narasi yang menunjukkan tempat, waktu, dan suasana tertentu. Menurut Rochani Adi, setting atau latar maksudnya tempat dan masa terjadinya cerita. Sebuah cerita haruslah jelas di mana dan kapan kejadian itu berlangsung (2011:49).
Sementara itu, menurut Nurgiyantoro, unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketika unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. (1994:227). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (1994:230). Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (1994:233-234).
Latar dapat menggunakan tempat yang benar-benar ada di dunia, seperti kota Jakarta, kampus Universitas Indonesia, ataupun wilayah yang lebih kecil lagi. Namun, latar juga dapat menggunakan tempat rekaan yang sebenarnya tidak ada di dunia, seperti sekolah sihir Hogwarts dalam novel dan film Harry Potter atau middle earth dalam novel dan film The Lord of The Rings.

1.6. Sudut Pandang
Sudut pandang memiliki istilah-istilah lain yang memiliki makna yang sama, yaitu titik pengisahan dan point of view. Menurut Junaedi, sudut pandangan adalah cara yang digunakan  pengarang mengisahkan ceritanya, yaitu  pada sudut mana pengarang berdiri ketika ia menyusun ceritanya (1994:101). Sementara itu, menurut Abrams (1981:142) dalam  Teori Pengkajian Fiksi, berpendapat bahwa sudut pandang merupakan cara  dan atau  pandangan  yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1994:248).
Nurgiyantoro membagi sudut pandang  ke dalam beberapa macam, yaitu:
1.      sudut pandang persona ketiga: “dia”, yaitu narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga: “dia” terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu “dia” mahatahu  (the omniscient point of view) dan “dia” terbatas atau “dia”sebagai pengamat;
2.      sudut pandang persona pertama: “aku”, yaitu  narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama: “aku” terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu  “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan;
3.      sudut pandang campuran, yaitu ketika pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah  cerita yang dituliskannya (1994:256-266).

Sudut pandang di dalam sebuah film memiliki keunikan sendiri dibandingkan sudut pandang di dalam sebuah  novel. Hal itu disebabkan oleh penggunaan kamera sebagai titik sudut pandang. Menurut Rochani Adi, dalam film, sudut pandang selalu sama dengan mata kamera dan penonton tidak mempunyai cara lain selain mengikuti arah ke mana kamera ditujukan (2011:58).  
Di lain sisi, sudut pandang atau point of view dalam novel memiliki kemiripan dengan batasan informasi cerita dalam film. Menurut Pratista, pembatasan informasi cerita merupakan  hal yang sangat penting dalam sebuah film dan seeorang sineas memiliki kontrol atau pilihan terhadap batasan informasi cerita. Batasan informasi cerita dalam sebuah film dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni penceritaan terbatas (retricted narration) dan penceritaan tak terbatas (omniscient narration) (2008:39). Penceritaan terbatas (retricted narration) adalah informasi cerita yang dibatasi dan terikat hanya pada satu orang karakter saja. Penonton hanya mengetahui serta mengalami peristiwa seperti apa yang diketahui dan dialami oleh karakter yang bersangkutan. Mata kamera tidak pernah meninggalkan karakter utama dan selalu mengikuti ke mana pun ia pergi (2008:39-40).  Penceritaan tak terbatas (omniscient narration) adalah  informasi cerita yang tidak terbatas hanya pada satu karakter saja. Kamera dapat meloncat dari satu karakter ke karakter lain dan bebas menangkap segala peristiwa atau obyek apapun (2008:41).

1.7. Alur/Plot
Alur menjadi unsur yang begitu penting dalam sebuah narasi. Alur atau plot dan narasi atau cerita berkaitan satu sama  lain. Menurut Nurgiyantoro, cerita dan plot merupakan  dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Dasar pembicaraan cerita adalah  plot dan dasar pembicaraan plot adalah cerita. Namun, plot lebih bersifat kompleks daripada cerita (1994:93-94).
Menurut Stanton (1965:14) dalam Teori Pengkajian Fiksi, plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian  itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 1994:113). Menurut Junaedi, alur adalah perangkaian peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam hubungan yang logis dan bersifat kausalitas sehingga terbentuk satu kesatuan cerita yang utuh (1994:90). Sudjiman berpendapat bahwa alur adalah tulang punggung cerita yang dibangun oleh berbagai peristiwa yang disajikan dalam  urutan  tertentu (1988:29).
Menurut Keraf, alur terbagi dalam tiga struktur, yaitu:
a.       pendahuluan, yaitu struktur pertama yang menghasilkan perbuatan yang muncul dari sebuah situasi yang harus mengandung unsur-unsur yang mudah meledak atau mampu meledakkan (setiap saat situasi dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan);
b.      perkembangan, yaitu struktur kedua yang menjadi batang tubuh utama dari seluruh tindak-tanduk para tokoh dan mencakup adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan atau menggawatkan komplikasi yang berkembang dari situasi asli;
c.       penutup, yaitu struktur ketiga yang menjadi bagian yang merupakan titik ketika struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya (2000:150-154).

Dalam film, alur atau plot dapat dianalisis melalui sekuennya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam film dibangun dalam sebuah audiovisual yang terbagi dalam beberapa bagian. Bagian kecil disebut adegan sedangkan bagian yang lebih besar disebut sekuen. Menurut Pratista, sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen biasanya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu sekuen dapat dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang (2008:29-30).

1.8. Konflik
Menurut Junaedi, konflik adalah krisis atau pertentangan yang terjadi antara kedua kekuatan yang masing-masing ingin mengalahkan atau menghancurkan yang lain. Konflik tersebut dapat terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, antara manusia dengan alam sekitar seperti kebiasaan atau adat istiadat, bahkan mungkin saja konflik itu terjadi dalam diri manusia. Kelahiran dan kematian, perkawinan dan perceraian, kejahatan dan kebenaran, perang dan damai, ketakutan dan keberanian, dan sebagainya semuanya dapat menjadi sumber timbulnya konflik (1994:120).
Sementara itu, menurut Keraf, konflik menjadi sebuah titik ketika makna dalam sebuah narasi hampir selalu muncul (2000:167). Sama seperti Junaedi, Keraf juga membagi konflik menjadi tiga macam walaupun ada beberapa unsur yang berbeda. Ketiga konflik tersebut , yaitu:
a)      konflik melawan alam, yaitu suatu pertarungan yang dilakukan oleh seorang tokoh atau manusia secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melawan kekuatan alam yang mengancam hidup manusia itu sendiri;
b)      konflik antarmanusia, yaitu pertarungan seorang melawan seorang manusia yang lain, seorang melawan kelompok yang lain yang berkuasa, suatu kelompok melawan kelompok yang lain, sebuah negara melawan negara yang lain karena hak-hak mereka diperkosa;

c)      konflik batin, yaitu pertarungan individual melawan dirinya sendiri, dalam konflik ini timbul kekuatan-kekutan yang saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan, kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan kedermawanan, dan sebagainya (2000:168-169).