Selasa, 07 April 2015

*a true story*

Kamis, 12 Februari 2015. Sore hari dalam perjalanan pulang dari tempat ngajar, aku menaiki bus dari Tangerang menuju Jakarta. Penumpang bus lumayan sepi. Aku suka jadi aku bisa bebas memilih duduk di mana. Untuk perjalanan berangkat, aku biasanya suka duduk di sebelah kiri yang bukan dekat jendela. Tapi untuk perjalanan pulang, biasanya aku duduk di sebelah kanan dekat jendela untuk memandangi pemandangan jalan dan lampu-lampu kota.

Sore itu, kebetulan jadwalku pulang lebih awal, jadi aku tak berkesempatan melihat lampu-lampu. Tapi, aku terhanyut mendengar keasyikan obrolan dua orang pemuda di belakangku.

Seingatku, mereka berdua naik tak lama setelah aku naik, masih di daerah Tangerang. Sekilas hanya kulihat dua sosok pemuda biasa yang sibuk mencari tempat duduk. Aku sih hanya sendirian di bangku tiga itu. Aku sibuk membaca buku parenting sambil sesekali memandangi jalan yang basah karena gerimis. Awalnya, kukira mereka akan duduk bersamaku. Ternyata mereka duduk tepat di belakangku.

Setengah perjalanan, aku masih sibuk dengan bukuku. Sesekali aku mendengar obrolan mereka. Pertama, aku suka jenis suara seorang di antara mereka. Entahlah bagaimana caranya aku harus mendeskripsikan. Lembut sekaligus bersahaja, tapi juga imut dan tegas berkharisma. Nah lho. Bingung? Entahlah aku sendiri juga sulit menggambarkan. Aku sudah bilang, kan?

Mereka terdengar membicarakan pekerjaan dan rekan-rekan mereka. Tanpa ada pergunjingan khas ibu-ibu. Sesekali mereka tertawa lepas. Yang aku ingat, ketika pemuda 1 (yang suaranya kusuka) membicarakan Pak Pram yang suka mengajak ia makan dan bahkan memesankan makanan padahal ia sudah bilang kalau dirinya shaum. Ya, pemuda 1 tidak bilang 'puasa' tapi 'shaum'. Waktu rohis di sekolah dulu, aku pernah dengar bedanya kedua kata tsb. Muslim lebih baik menggunakan kata shaum daripada puasa karena puasa bisa dilakukan oleh non muslim juga. Aku kira 'shaum' juga artinya puasa. Mungkin secara maknawiyah agak berbeda, ya? Nanti kutanya lebih jauh deh sama temanku yang jago bahasa Arab. Hehe.


Aku tersenyum kecil ketika pemuda 1 itu terkekeh mengingat kelakuan Pak Pram. Cerita dia, waktu istirahat itu, daripada pergi ke kantin, ia ingin pergi mengecek gudang saja lalu pergi ke mushola untuk tidur karena ia sedang shaum. Eh Pak Pram mungkin salah dengar atau apa, tetap saja memesankan makanan. Menurutku, itu lucu dan aku tertawa sendiri di dalam hati.

Pemuda 2... entahlah. Telingaku tak fokus pada suaranya. Seingatku, dia hanya mengiyakan dan bertanya lalu ikut berpendapat kemudian tertawa bersama. Sementara pemuda 1 berkata bahwa dalam waktu dekat ia harus memenuhi panggilan. Aku tak tahu entah panggilan kerja lain atau panggilan macam apa. Tapi yang kusuka adalah segera setelah itu, ia bilang kalau dirinya harus lebih banyak berdoa supaya lancar. Entah mengapa, saat itu aku merasa kami berdua mirip. Mungkin karena aku baru saja mengalami hal serupa: diberi tantangan dan cobaan, aku berusaha berdoa dan pasrah kepada Allah, terus beberapa waktu lama kemudian, dikabulkan doanya.

Aku mulai jatuh hati.

Mereka lanjut membicarakan hal yang agak tak kumengerti. Intinya tentang keluarga. Aku tak tahu keluarga siapa yang sedang mereka bicarakan. Tapi pemuda 1 mengatakan bahwa dari ketiga hal ini: istri, anak, atau ibu, salah satunya bisa jadi aura negatif. Mungkin maksudnya, menjadi cobaan dalam hidup. Dan pemuda 1 berujar lagi, "tapi tak semuanya orang begitu."

Aku jatuh hati lagi.

Pemuda 1 mengatakan semoga berkah dan bertambah pahala karena melakukan suatu hal baik kepada temannya itu. Em, mungkin kepada seseorang di dalam cerita mereka.

Aku jatuh cinta.

Aku yakin kalau pemuda 1 itu adalah orang yang baik. Entahlah apa dirinya sudah menikah atau belum. Itu perkara lain. Setidaknya, obrolan kedua pemuda itu selama 1 jam bisa memberikan kesan kepadaku dan sedikit menggambarkan pribadi masing-masing.

Bus mendarat di pintu keluar tol dan aku segera bersiap turun. Di lain sisi, aku penasaran dengan wajah pemuda 1 itu. Aku ingin menengok ke belakang, tapi aku malu.

Jujur, aku merasa malu. Perasaan yang sangat aneh menurutku.

Pemuda 2 turun lebih dulu dan menyampaikan salam. Sementara pemuda 1 menjawab salamnya. Mereka berpisah. Entah apa pemuda 1 juga turun di situ atau di tempat lain. Yang kutahu, ia berdiri di belakangku.

Aku sibuk mengantri untuk turun lewat pintu depan, saat itu seorang wanita di depanku beralih mau lewat pintu belakang. Aku minggir, tapi tasku terlalu besar sehingga membuatnya sulit berjalan. Sampai akhirnya, si pemuda 1 berkata kepadaku.

"Pintu belakang sudah bisa kok Mbak, sudah kosong dan tak ada orang..."

Aku melihat sosoknya tak jelas karena ia menepikan dirinya dekat jendela yang tertutupi kain gorden. Aku melihat bajunya saja, kaos panjang bergaris berwarna gelap. Pemuda 1 itu perawakannya tak begitu tinggi. Setelah kata-kata itu ia lontarka, aku tak kuasa menahan rasa maluku. Aku kabur lewat pintu belakang seraya mengatakan."Oh, sorry sorry...". Bukan untuk wanita di depanku tadi karena aku sudah membuatnya sulit berjalan. Namun, untuk si pemuda itu...

Sorry, I think I like you. Hehehe…



















 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar