Sabtu, 28 Mei 2011

Benang Waktu Hidupku

Sungguh, menonton film Thailand tadi malam telah membuatku tersenyum riang pagi ini. Genre film yang romantis dengan alur cerita menarik khas anak sekolah, mengingatkan aku pada masa sekolahku. Aku pun melakukan hal yang sama dengan Nam, karakter perempuan utama di film itu. waktu SD, aku sering memandangi salah seorang teman laki-lakiku yang gemar main bola basket dari lantai dua sekolah, tepat di depan kelasku. Bahkan, aku pun menelponnya tanpa memberitahu namaku. Sama seperti yang dilakukan Nam kepada Shone. Tubuhnya tinggi, otaknya cerdas, wajahnya terlihat lebih dewasa daripada teman laki-lakiku yang lain. Karena hal itulah, aku suka kepadanya.

Waktu SMP, ceritaku lain lagi. Saat itu, masa di mana puberitas remaja sedang tinggi-tingginya, dan aku termasuk dalam kelompok bernama ‘remaja’ itu. Persis dengan latar di dalam film Thailand tadi malam, aku mulai menemui teman-teman baik. Perbedaannya, kami  tidak melegalkan hubungan baik itu dengan sebuah geng. Walaupun kami tidak bergeng ria, kami terlihat seperti sekelompok geng karena seringnya berkumpul bersama, makan bersama, dan pulang sekolah bersama. Ceritanya sama, kami menyukai teman laki-laki, senior laki-laki, dan bahkan adik kelas laki-laki. Peristiwa yang paling kuingat adalah, suatu hari terdapat pertandingan bola basket. Ya, sekolah memang identik dengan bola basket dan senior-senior tampan di dalamnya. Walaupun, sekolahku berada di ujung pinggiran ibukota negara ini, fenomena itu terjadi juga. Salah satu senior tampan itu adalah Ketua OSIS sekolahku, yang gemar membuat jambul pada rambutnya. Kebetulan, ia juga kakak dari teman sekelasku. Di dalam pertandingan itu, aku dan teman-temanku menonton sambil duduk di pinggir lapangan. Tiba-tiba, bola mengarah ke arah kami dan Sang Ketua OSIS itu hampir jatuh di pangkuanku karena kakinya menyandung kakiku. Kami refleks meminta maaf  satu sama lain. Teman-temanku tertawa melihatiku sedangkan teman-teman yang lainnya melihatiku dengan tatapan sinis, seperti ingin mencekik leherku. Begitulah, pertama dan terakhir kalinya kami menyapa. Masa SMP, aku kesulitan dengan jadwal solat dan teman-teman yang melakukan solat. Di dalam sekolahku terdapat musola yang berdekatan dengan kantin. Ketika waktu ashar tiba, itulah waktu istirahat dan siswa laki-laki biasanya makan sambil duduk di pinggir musola. Butuh keberanian dan iman yang tinggi untuk melakukan solat ketika itu. Satu lagi, tempat berwudhu terbuka dan tidak nyaman sama sekali bagi seorang perempuan ketika berwudhu di sana. Alhamdulillah, orang tuaku telah mengajariku solat ketika sudah baligh, sehingga aku takut jika tidak solat. Jika aku tidak solat ahar di sekolah, aku akan cepat pulang dan solat di rumah dalam injury time, lima sampai sepuluh menit sebelum magrib. Entah mengapa, sulit untuk mengajak temanku solat. Padahal aku butuh teman untuk solat ketika itu. Aku sangat benci keadaan itu. Bahkan, ketika latihan paskibra pun, senior-seniorku tidak ada yang memberikan kesempatan solat. Aku tidak mengerti, mereka tidak mendengar kumandang adzan itu atau apa. Kalau dipikir sekarang, mengapa aku bodoh, tidak bertanya ketika itu. Juga, ada salah satu temanku yang memakai hijab, tapi ternyata dia tidak solat. Hal itu sangat membuat tanda tanya besar di keningku. Lalu apa gunanya ia memakai hijab?

Semua berubah ketika SMA, Allah sangat sayang kepadaku. Aku ditakdirkan untuk masuk ke dalam sebuah lingkungan yang paling nyaman yang pernah aku rasakan. Ketika itu, hari pertama sekolah, daftar ulang, aku memutuskan untuk berhijab. Aku diantar ke sekolah oleh bapakku menggunakan motor. FYI, bapakkulah tersangka utama yang merekomendasikan sekolah itu. Pertama, sekolah itu dekat sekali atau boleh dibilang bertetanggaan dengan kantor bapakku. Sekaligus, sekolah itu juga adalah sekolah terjauh yang pernah aku jalani, kawasan Cililitan. Kedua, kata bapakku, sekolah itu agamanya bagus. Hal itu diketahui dari perbincangan teman bapakku yang anaknya juga bersekolah di situ. Untuk hal ini, aku percaya-percaya saja. Ketiga, sekolah itu sekolah unggulan. Kalau hal ini, aku percaya karena aku melihat passing gradenya di buku BK si sekolah. Sebelum melihat sekolahku itu, aku melewati sekolah lain yang lumayan bagus juga di kawasan Pinang Ranti. Aku sungguh terkagum-kagum dengan sekolah itu. Besar, hijau, lapangannya luas, pokoknya keren. Ketika itu aku berpikir bahwa sekolahku pasti lebih keren daripada sekolah itu. Motor bebek bapakku mulai memasuki jalan gang sekolahku. Lurus, di samping jalannya terdapat kantor bapakku. Kemudian kami belok ke kanan, bapakku menunjuk sekolahku, “itu sekolahnya dari samping, Ti!”.  Aku bingung, aku hanya melihat sebuah gedung berwarna kuning krem di depan mataku. Kemudian kami belok ke kiri dan akhirnya sampai ke sekolah baruku. Aku tertegun, “ya ampun, jelek banget sekolahnya, Pak?”. Sekolah letter U dengan warna kuning krem, pagarnya karatan, dan lapangannya pun tidak sebesar yang kuperkiraan sebelumnya. Sungguh bagaikan pabrik roti. Inikah sekolah yang bapakku bangga-banggakan itu?

Hari pertama Masa Orientasi Siswa, aku disuruh memakai nametag bulat terbuat dari kardus dengan tempelan permen. MOS tidak aneh-aneh, siswa baru hanya disuruh meminta tanda tangan anggota OSIS dan MPK. Sesuatu yang berbeda adalah ketika waktu solat zuhur tiba. Kami solat zuhur berjamaah di musola sekolah. Musolanya terbagi dua lantai, perempuan di atas dan laki-laki di bawah. Musola sekolah ini tiga kali lebih bagus daripada ketika SMP dahulu. Apalagi tempat berwudhunya terpisah antara perempuan dan laki-laki serta tertutup. Aku senang sekali. Lebih dari itu, di tempat yang hijau itulah tempat pertama kali aku liqo atau mentoring. Setelah solat zuhur, kami membuat lingkaran kecil, kemudian disuguhi kriuk-kriuk sederhana di tengahnya, kami membaca Al Quran lalu saling berkisah dan berkenalan. Kakak mentor pertamaku bernama Kak Chani. Keturunan Arab, tapi tidak kelihatan. Adiknya, Fikri yang kelihatan Arab sekali. Hal yang membuat aku geli adalah kami bersalaman seperti ibu-ibu (pikirku waktu itu). Kami menempelkan pipi kami tiga kali sambil mengucap dan menjawab salam. Pada awalnya, aku selalu tertawa geli setelah kami bersalaman dengan gaya seperti itu. Namun, kini aku tahu bahwa dalam bersalaman itu dapat menggugurkan dosa-dosa kita. Jadi, aku tidak geli lagi, hehe.

Tahun kedua, sekolahku menjadi hijau. Hijau dalam arti sebenarnya. Semua dicat hijau seperti pesantren. Lapangan diperbaiki, dari sebelumnya logo kartu As menjadi Mizone. Pagar pun diperbaiki dan dicat supaya karatnya hilang. Tahun kedua ini, aku vakum mentoring karena Kak Chani yang mau ujian diganti orang lain. Aku dan teman-teman jadi jarang mentoring karena kakaknya tidak asik (menurutku waktu itu). Namun, jika dipikir sekarang, betapa zalimnya diriku kepadanya, Kak Nadia, mahasiswa FE UI yang seharusnya aku dapat banyak belajar darinya (FE: Fakultas Impian Anak IPS). Maafkan aku Kak, sungguh maafkan aku... Sebelum aku naik kelas, aku dan temanku, Mariyana diundang mentoring oleh Kak Dewina, FKM UI, Sang Bidadari Syurga itu. Tapi bodohnya, untuk kedua kalinya, aku membuang kesempatan emas itu. Aku ogah-ogahan dalam menjalaninya. Sampai akhirnya, Mariyana sukses menjadi pejuang dakwah dan aku tertinggal di jurang hitam. Mungkin, bukan jurang hitam juga, melainkan jurang abu-abu. Apalagi setelah sekarang aku tahu bahwa Kak Dewina itu Mapres FKM, makin menyesal aku. Mengapa tidak bersungguh-sungguh di jalan Allah waktu itu, padahal aku dikelilingi manusia-manusia hebat, namun aku tidak menyadarinya. Aku sungguh tidak peka dalam menerima hidayah yang sudah Allah beri. Hatiku mungkin terlalu banyak debunya sehingga sulit untuk sinar hidayah itu menerangi hatiku. Atau aku terlalu bodoh.

Di sisi lain, aku menemukan teman-teman yang satu jalan dan aku senang sekali. Tidak sulit mengajak mereka solat. Bahkan, mereka mengajak aku untuk solat dhuha ketika jam istirahat. Ada pula seorang temanku, dia perempuan tidak berhijab namun rajin sekali solat dhuha. Keren. Di Masa ini pun aku telah diajari apa arti hijab sebenarnya. Hijab, bukan hanya masalah memakai kerudung saja. Namun, lebih luas dari itu. Hijab berarti batas, batas antara perempuan dan laki-laki. Adab bergaul menurut ajaran Islam. Tidak memandang secara berlebihan, menjaga suara, menjaga hati dan pikiran, menjaga perilaku dan sikap. Allah benar-benar sayang kepadaku karena telah memberiku takdir untuk bersekolah di tempat nan hijau ini. Terima kasih, Ya Allah... SMA bak pesantren nan hijau hanya ada di sini saja. Hanya ada satu. Dan sekolah hijau itu, kini telah mengantarkan aku ke sebuah universitas kuning nan tersohor di kawasan Depok. Makin cinta saja aku dengan sekolah hijau itu. Semoga Allah memberikan rahmat dan karunianya kepada seluruh manusia di sekolah itu, :) 

Di dalam bus kuning milik kampus kuning ini, kini aku tersenyum riang karena menonton film Thailand itu tadi malam. Genap dua tahun aku ada di kampus kuning ini. Suasananya sama dengan sekolah hijauku dahulu. Aku jadi berpikir jika sekolah hijauku, yang memang kebanyakan alumninya pindah ke kampus kuning adalah miniatur kampus kuning. Dan hidayah untuk ketiga kalinya menyinari hatiku. Alhamdulillah, untuk kali ini, aku dapat merasakannya. Aku dapat merasakan kedatangan hidayah itu, dan aku tidak ingin melepasnya atau mengacuhkannya lagi. Kini hidupku telah baru. Aku menemukan wajah-wajah baru yang menginspirasiku, wajah-wajah saudaraku. Kami akan saling membantu dalam agama Allah. Walaupun godaan melawan hijab itu masih terus akan mengintai, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap teguh dalam hijab ini. Karena sungguh, aku akan merasakan manisnya kelak jika aku bersabar... aamiin

*terima kasih kepada seluruh manusia yang telah memberi inspirasi kepadaku, semoga Allah merahmati kita semua ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar