Senin, 10 Oktober 2016

Eksistensi Diri dan Bentuk Pengabdian Diri

Assalamualaykum!

Futur. Satu kata ini sangat sederhana, namun berdampak begitu durjana. Bagi kita, bagi manusia. Setiap diri pasti pernah merasa futur sehingga menyebabkan kadar keberimanan kita turun (tidak termasuk para nabi, sahabat nabi, wali, dan ulama yang Allah kehendaki). Sungguh celaka dampaknya! Yang biasa tilawah satu juz jadi hanya setengah juz. Yang biasa setengah juz jadi hanya dua lembar. Yang biasa dua lembar jadi lupa membaca Al Quran. Padahal, salah satu obat hati agar senantiasa lembut dan jernih adalah dengan membaca Al Quran serta berusaha pahami maknanya.

Pun manusia yang menuliskan tulisan ini sesungguhnya amat sering merasa futur. It's normal. But too dangerous to keep it too long. Pernah merasa tak bergairah saat beribadah? Saat akan solat misalnya? Saya sering. Terkadang merasa kegiatan solat itu seperti rutinitas yang membosankan. Parah sekali, ya? Padahal tujuan Allah menciptakan diri kita untuk beribadah, lho. Seperti yang sudah kita pahami. Beribadah banyak macamnya. Ada yang bentuknya vertikal langsung kepada Allah, seperti solat dan puasa. Ada pula yang horizontal misalnya zakat dan berbakti kepada orang tua. Ujungnya memang kepada Allah juga. Namun, harus melewati mahluk Allah dulu.

Dari Allah untuk Allah. Eksistensi atau keberadaan diri kita semata-mata karena Allah sekaligus untuk Allah. Maka, jika ibadah dipandang sebagai rutinitas belaka... bukankah itu sama saja dengan durhaka? Ibadah adalah bentuk pengabdian diri yang paling utama. Dan turunan dari variasi ibadahnya banyak. Seperti yang sudah dibahas tadi. Bahkan, tersenyum kepada saudara juga termasuk ibadah. Membaca basmalah sebelum makan juga ibadah. Menahan diri dari melakukan hal yang buruk juga ibadah. Bayangkan betapa indahnya jika keseharian kita semua bernilai ibadah. Tak hanya saat ibadah wajib seperti solat. Bayangkan jika setiap desah nafas dan derap langkah kita dihitung ibadah. Hanya kepada Pencipta diri mengabdi. Bukan manusia. Bukan mahluk lainnya.

Senang rasanya jika hati kembali lembut. Ketika Allah kembali menyambut. Tak ada yang paling menyenangkan selain pelukan dari Allah lewat perasaan tenang selepas beribadah atau perasaan nyaman selepas memutuskan suatu perkara yang sebelumnya menyertakan Allah. Ketenangan hati. Tanda dari futurnya sang futur.

*semoga menginspirasi :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar