(*dari berbagai buku sumber*)
1.1. Pengertian
Narasi
Narasi atau
cerita merupakan unsur yang penting dalam sebuah film fiksi. Narasi menjadi alat
untuk menyampaikan makna dan pesan dalam teks film fiksi kepada penonton
sehingga penonton dapat mudah memahami isi film tersebut. Menurut
Keraf,
narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian
atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri
peristiwa itu. Narasi mencakup dua unsur dasar, yaitu perbuatan atau tindakan
yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.
Keraf kemudian mendefinisikan bahwa narasi adalah suatu bentuk wacana yang
sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi
sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu (2000:135-136).
Struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya:
perbuatan, penokohan, latar, dan sudut pandangan. Tetapi dapat juga dianalisa
berdasarkan alur (plot) narasi
(2000:145).
Keraf
membagi narasi menjadi dua kategori, yaitu narasi ekspositoris dan narasi
sugestif. Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para
pembaca agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Tetapi
di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam
sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan
sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi
semacam ini disebut narasi sugestif (2000:136). Narasi dalam film fiksi masuk
ke dalam kategori kedua, yaitu narasi sugestif. Hal itu disebabkan oleh tujuan
film fiksi yang bertujuan menyampaikan makna dan pesan serta memberikan hiburan,
namun tidak untuk memberikan informasi. Memang sangat dimungkinkan, film fiksi juga
dapat memberikan informasi-informasi baru kepada penontonnya, namun sebenarnya
hal tersebut tidak menjadi tujuan utama.
Menurut
Nurgiyantoro, aspek cerita (story)
dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki
peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita
(1994:90). Ia menambahkan, dengan bercerita, sebenarnya pengarang ingin
menyampaikan sesuatu, gagasan-gagasan, kepada kita-pembaca. Penampilan
peristiwa-(-peristiwa) pada hakikatnya juga berarti pengemukaan gagasan
(1944:91).
Karya
sastra novel dan karya seni film fiksi memiliki kesamaan unsur utama berupa
narasi atau cerita. Dalam novel, narasi adalah unsur pembentuk utama. Sementara
itu, menurut Pratista, dalam film fiksi unsur pembentuknya terbagi dua, yaitu
aspek naratif dan sinematik (2008:1). Aspek naratif berhubungan dengan narasi
film sedangkan aspek sinematik berhubungan dengan sinematografi atau produksi
film. Narasi dalam novel dan film fiksi memiliki kemiripan. Oleh karena itu,
menurut Rochani Adi, metode yang dilakukan dalam mengkaji novel populer
tentulah dapat berlaku juga dalam mengkaji film naratif (2011:54). Dalam kajian
sastra, film yang dikaji secara intrinsik pada dasarnya sama dengan kajian
intrinsik novel (2011:57).
Menurut
Keraf, narasi diperlukan untuk menyiapkan pembaca untuk merasakan kepenuhan
makna sebuah proses, membuat pembaca melihat, mendengar, merasakan, dan
memahami peristiwa itu sebagai suatu kesatuan (2000:184). Narasi film fiksi
sebagai satu kesatuan menyimpan gagasan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis
akan menggunakan unsur-unsur struktur narasi untuk menganalisis bagaimana gagasan
mengenai issue identitas diungkapkan dalam penelitian kali ini.
1.2. Tema
Menurut
Sudjiman, tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu
karya sastra (1988:50). Sudjiman menambahkan, tema itu kadang-kadang didukung
oleh pelukisan latar, tersirat dalam
lakuan tokoh atau penokohan (1988:51). Sementara itu, menurut Junaedi, tema
merupakan persoalan yang kuat daya
penariknya yang merangsang atau menjadi sumber informasi pengarang untuk
menulis (1994:71). Junaedi menambahkan, tema berbeda dengan topik karena topik
dapat segera diketahui setelah kita selesai membaca cerita sedangkan untuk
memahami tema, diperlukan perenungan dan pemahaman yang lebih mendalam (1994:72).
1.3. Tokoh
Pada
sebuah narasi, terdapat tokoh-tokoh yang bertugas menjalankan peran
masing-masing. Berbeda dalam narasi novel, tokoh dalam film fiksi dapat dilihat
langsung oleh mata. Hal tersebut disebabkan oleh media yang berbeda. Novel
menggunakan media tulisan sedangkan film menggunakan media audiovisual.
Dalam
film fiksi, imajinasi yang dibangun tentang seorang tokoh menjadi lebih konkrit
karena perwujudan tokoh sudah dapat dilihat langsung oleh mata. Mari kita
bayangkan ada seorang tokoh wanita bergaun merah yang cantik. Jika tokoh
tersebut muncul dalam novel, maka imajinasi yang dibangun pembaca akan berbeda
antara satu orang dengan yang lainnya. Orang Indonesia yang akhir-akhir ini
berpikir bahwa cantik itu putih, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu
berkulit putih. Sementara itu, orang Afrika yang berpendapat bahwa cantik itu
gemuk karena identik dengan kesuburan, akan berimajinasi bahwa tokoh wanita itu
bertubuh gemuk. Kecuali, dalam teks selanjutnya dijelaskan lebih detail bahwa
tokoh wanita tersebut kurus, kulitnya kuning, keturunan China dan sebagainya.
Maka imajinasi tokoh akan sama untuk setiap orang.
Tokoh
dapat diklasifikasikan menurut fungsi tokoh dalam cerita dan cara menampilkan
tokoh dalam cerita. Sudjiman menjelaskan hal ini dengan terstruktur dalam
bukunya, Memahami Cerita Rekaan
(1988).
Berdasarkan
fungsi tokoh dalam cerita, Sudjiman mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu
tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang menjadi
sentral atau pusat dalam cerita. Di dalam tokoh sentral, terdapat dua kategori
lagi, yaitu protagonis dan antagonis. Menurut Sudjiman, protagonis adalah tokoh
yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan (1988:18). Dalam istilah lain, kita
menyebut protagonis dengan tokoh utama. Sudjiman menambahkan bahwa kriterium
yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh
itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa
yang membangun cerita (1988:18). Antagonis adalah tokoh lawan dari protagonis.
Bahkan dapat menjadi musuh dari protagonis. Sementara itu,
Grimes (1975:43-44) dalam Memahami Cerita
Rekaan, menjelaskan bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang
tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Sudjiman, 1988:19).
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam
cerita, Sudjiman juga mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu tokoh datar dan
tokoh bulat. Analisis sifat atau watak tokoh dalam cerita menjadi sebuah cara
untuk mengetahui seorang tokoh merupakan tokoh datar atau tokoh bulat. Menurut
Sudjiman, tokoh datar adalah tokoh yang sifat atau segi wataknya yang dominan
saja yang disoroti (1988:21). Dalam kata lain, tidak ada perkembangan dalam
watak tokoh datar. Berkebalikan dengan itu, tokoh bulat adalah tokoh yang sifat
atau segi wataknya mengalami perkembangan dan perubahan.
Teori tentang tokoh juga dijelaskan oleh
Junaedi dalam bukunya Apresiasi Sastra
Indonesia (1994). Menurut Junaedie, berdasarkan pada peran
yang diperankan oleh seorang pelaku, dikenal adanya pelaku utama, pelaku kedua,
pelaku pembantu, dan pelaku figuran. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang
peranan utama cerita. Pelaku utama ini merupakan penyebab atau sumber
terjadinya cerita. Arah pengisahan tertuju kepada pelaku utama. Frekuensi
keterlibatan pelaku utama dalam setiap suasana lebih tinggi dibandingkan dengan
pelaku-pelaku lain. Pelaku utama ini terdiri dapat dari dari dua orang, yaitu pelaku
utama yang pertama dan pelaku utama yang kedua. Peran pelaku utama yang kedua
hampir sama dengan pelaku utama yang pertama. Perbedaannya terletak pada
derajat keterlibatannya dalam cerita. Pelaku utama yang pertama terlibat secara
langsung dalam setiap situasi sehingga ia pun merasakan secara langsung
akibat-akibat yang timbul dari situasi itu sedangkan pelaku utama yang kedua,
sekalipun ia juga dapat terlibat langsung, namun keterlibatannya itu terjadi
karena ia terkait dengan pelaku utama yang pertama (1994:79).
Menurut Junaedi, pelaku kedua adalah
pelaku yang mengimbangi atau yang membayang-bayangi atau bahkan menjadi musuh
pelaku utama. Pelaku kedua ini juga dapat terdiri lebih dari satu orang.
Sementara itu, pelaku pembantu adalah pelaku yang ikut mendukung atau turut
memperlancar peranan pelaku utama atau pelaku kedua dan pelaku figuran adalah
pelaku-pelaku dalam cerita yang tidak jelas peranannya (1994:81).
1.4.
Penokohan
Penokohan
dalam narasi penting untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Menurut
Sudjiman (1986:58) dalam Memahami
Cerita Rekaan, menjelaskan bahwa penokohan adalah penyajian
watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1988:23). Sementara itu,
Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan dan karakterisasi menunjuk pada
penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita
(1994:165).
Menurut
Junaedi, penokohan atau karakterisasi adalah pengsifatan pelaku dengan karakter
tertentu. Pada dasarnya, ada dua cara yang digunakan oleh pengarang untuk
menggambarkan karakter pelaku cerita, yaitu (1) secara langsung dan (2) tidak
langsung (1994:82). Penggambaran pelaku secara langsung, yaitu pengarang
mendeskripsikan sifat atau karakter pelaku sedangkan penggambaran pelaku secara
tidak langsung dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti:
a) penggambaran
karakter melalui gambaran bentuk tubuh pelaku;
b) penggambaran
karakter pelaku lewat jalan pikiran atau sesuatu yang terlintas dalam pikiran
pelaku;
c) penggambaran
karakter didasarkan pada reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu;
d) penggambaran
karakter pelaku dengan cara melukiskan kebiasaan dan keadaan lingkungannya;
e) penggambaran
karakter pelaku melalui sikap atau pandangan pelaku lain;
f)
pengarang menggambarkan karakter pelaku (utama)
melalui perbincangan pelaku lain (1994:83-89).
Melalui penokohan, tokoh memiliki sifat dan
watak yang khas sehingga dapat membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain.
Fungsi penokohan sangat penting dalam sebuah narasi karena tokoh-tokoh yang
berperan di dalamnya akan menjadi tidak bermakna karena tidak memiliki sifat
dan watak.
1.5. Latar
Latar merupakan unsur dalam narasi yang menunjukkan tempat, waktu,
dan suasana tertentu. Menurut Rochani Adi, setting
atau latar maksudnya tempat dan masa terjadinya cerita. Sebuah cerita haruslah
jelas di mana dan kapan kejadian itu berlangsung (2011:49).
Sementara itu, menurut Nurgiyantoro, unsur latar dapat dibedakan ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketika unsur itu walau
masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara
sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. (1994:227). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (1994:230). Latar
sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara
kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu,
latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas (1994:233-234).
Latar dapat menggunakan tempat yang benar-benar ada di dunia,
seperti kota Jakarta, kampus Universitas Indonesia, ataupun wilayah yang lebih
kecil lagi. Namun, latar juga dapat menggunakan tempat rekaan yang sebenarnya
tidak ada di dunia, seperti sekolah sihir Hogwarts dalam novel dan film Harry
Potter atau middle earth dalam novel dan
film The Lord of The Rings.
1.6. Sudut
Pandang
Sudut
pandang memiliki istilah-istilah lain yang memiliki makna yang sama, yaitu
titik pengisahan dan point of view.
Menurut Junaedi, sudut pandangan adalah cara yang digunakan pengarang mengisahkan ceritanya, yaitu pada sudut mana pengarang berdiri ketika ia
menyusun ceritanya (1994:101). Sementara itu, menurut Abrams (1981:142)
dalam Teori Pengkajian Fiksi, berpendapat bahwa sudut pandang merupakan
cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1994:248).
Nurgiyantoro
membagi sudut pandang ke dalam beberapa
macam, yaitu:
1. sudut
pandang persona ketiga: “dia”, yaitu narator adalah seseorang yang berada di
luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga: “dia” terbagi lagi
menjadi dua macam, yaitu “dia” mahatahu (the omniscient point of view) dan “dia”
terbatas atau “dia”sebagai pengamat;
2. sudut
pandang persona pertama: “aku”, yaitu narator
adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”, tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap orang
(tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama: “aku” terbagi lagi
menjadi dua macam, yaitu “aku” tokoh
utama dan “aku” tokoh tambahan;
3. sudut
pandang campuran, yaitu ketika pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang
satu ke teknik yang lain untuk sebuah
cerita yang dituliskannya (1994:256-266).
Sudut
pandang di dalam sebuah film memiliki keunikan sendiri dibandingkan sudut
pandang di dalam sebuah novel. Hal itu
disebabkan oleh penggunaan kamera sebagai titik sudut pandang. Menurut Rochani
Adi, dalam film, sudut pandang selalu sama dengan mata kamera dan penonton
tidak mempunyai cara lain selain mengikuti arah ke mana kamera ditujukan
(2011:58).
Di lain
sisi, sudut pandang atau point of view
dalam novel memiliki kemiripan dengan batasan informasi cerita dalam film.
Menurut Pratista, pembatasan informasi cerita merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah film dan
seeorang sineas memiliki kontrol atau pilihan terhadap batasan informasi
cerita. Batasan informasi cerita dalam sebuah film dapat dibagi menjadi dua
jenis, yakni penceritaan terbatas (retricted
narration) dan penceritaan tak terbatas (omniscient
narration) (2008:39). Penceritaan terbatas (retricted narration) adalah informasi cerita yang dibatasi dan
terikat hanya pada satu orang karakter saja. Penonton hanya mengetahui serta
mengalami peristiwa seperti apa yang diketahui dan dialami oleh karakter yang
bersangkutan. Mata kamera tidak pernah meninggalkan karakter utama dan selalu
mengikuti ke mana pun ia pergi (2008:39-40). Penceritaan tak terbatas (omniscient narration) adalah informasi cerita yang tidak terbatas hanya
pada satu karakter saja. Kamera dapat meloncat dari satu karakter ke karakter
lain dan bebas menangkap segala peristiwa atau obyek apapun (2008:41).
1.7. Alur/Plot
Alur menjadi
unsur yang begitu penting dalam sebuah narasi. Alur atau plot dan narasi atau
cerita berkaitan satu sama lain. Menurut
Nurgiyantoro, cerita dan plot merupakan
dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya,
tak mungkin dipisahkan. Dasar pembicaraan cerita adalah plot dan dasar pembicaraan plot adalah
cerita. Namun, plot lebih bersifat kompleks daripada cerita (1994:93-94).
Menurut Stanton
(1965:14) dalam Teori Pengkajian Fiksi,
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain
(Nurgiyantoro, 1994:113). Menurut Junaedi, alur adalah perangkaian peristiwa
yang satu dengan peristiwa yang lain dalam hubungan yang logis dan bersifat
kausalitas sehingga terbentuk satu kesatuan cerita yang utuh (1994:90). Sudjiman
berpendapat bahwa alur adalah tulang punggung cerita yang dibangun oleh
berbagai peristiwa yang disajikan dalam urutan tertentu (1988:29).
Menurut Keraf,
alur terbagi dalam tiga struktur, yaitu:
a. pendahuluan,
yaitu struktur pertama yang menghasilkan perbuatan yang muncul dari sebuah
situasi yang harus mengandung unsur-unsur yang mudah meledak atau mampu
meledakkan (setiap saat situasi dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat
membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan);
b. perkembangan,
yaitu struktur kedua yang menjadi batang tubuh utama dari seluruh tindak-tanduk
para tokoh dan mencakup adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan
atau menggawatkan komplikasi yang berkembang dari situasi asli;
c. penutup,
yaitu struktur ketiga yang menjadi bagian yang merupakan titik ketika struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya (2000:150-154).
Dalam
film, alur atau plot dapat dianalisis melalui sekuennya. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dalam film dibangun dalam sebuah audiovisual yang terbagi dalam
beberapa bagian. Bagian kecil disebut adegan sedangkan bagian yang lebih besar
disebut sekuen. Menurut Pratista, sekuen adalah satu segmen besar yang
memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen biasanya terdiri
dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Adegan adalah satu segmen pendek
dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang
diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu sekuen
dapat dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu
rangkaian aksi panjang (2008:29-30).
1.8. Konflik
Menurut
Junaedi, konflik adalah krisis atau pertentangan yang terjadi antara kedua
kekuatan yang masing-masing ingin mengalahkan atau menghancurkan yang lain.
Konflik tersebut dapat terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang
lain, antara manusia dengan alam sekitar seperti kebiasaan atau adat istiadat,
bahkan mungkin saja konflik itu terjadi dalam diri manusia. Kelahiran dan
kematian, perkawinan dan perceraian, kejahatan dan kebenaran, perang dan damai,
ketakutan dan keberanian, dan sebagainya semuanya dapat menjadi sumber
timbulnya konflik (1994:120).
Sementara
itu, menurut Keraf, konflik menjadi sebuah titik ketika makna dalam sebuah
narasi hampir selalu muncul (2000:167). Sama seperti Junaedi, Keraf juga
membagi konflik menjadi tiga macam walaupun ada beberapa unsur yang berbeda.
Ketiga konflik tersebut , yaitu:
a) konflik
melawan alam, yaitu suatu pertarungan yang dilakukan oleh seorang tokoh atau
manusia secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melawan kekuatan alam yang mengancam
hidup manusia itu sendiri;
b) konflik
antarmanusia, yaitu pertarungan seorang melawan seorang manusia yang lain,
seorang melawan kelompok yang lain yang berkuasa, suatu kelompok melawan
kelompok yang lain, sebuah negara melawan negara yang lain karena hak-hak
mereka diperkosa;
c) konflik
batin, yaitu pertarungan individual melawan dirinya sendiri, dalam konflik ini
timbul kekuatan-kekutan yang saling bertentangan dalam batin seseorang,
keberanian melawan ketakutan, kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan
kedermawanan, dan sebagainya (2000:168-169).