Memacu
Waktu
Kedua
roda motor itu terus berputar dengan cepat. Seorang laki-laki paruh baya yang
mengemudikan motornya itu pun menunjukkan wajah penuh konsentrasi. Srat! Srat! Srat! Mobil dan motor di
depannya disalip dengan cekatan bak Valentino Rossi Sang Pembalap Moto GP. Sementara
itu, pemuda yang dibonceng di belakangnya sibuk melakukan hal lain. Tangan
kanannya memegang buku Pengantar Ekonomi yang terbuka halamannya dan tangan
kirinya dengan erat memegang besi motor bagian belakang agar tidak jatuh. Motor
itu melesat masuk ke Gerbatama UI. Amir namanya, tapi biasanya dipanggil Mimir
oleh teman-teman yang perempuan di kampusnya dan ia sebenarnya tidak suka
dengan hal itu. Ada satu temannya juga bernama bagus, yaitu David, eh dipanggilnya
Mpit. Sekalian saja sumpit! Seenak jidat ganti-ganti nama orang, dasar
perempuan! Ya, begitu biasanya ia berteriak. Namun, hanya di dalam hati. Tidak
beranilah pemuda itu untuk benar-benar berteriak di depan wajah para teman
perempuannya yang sering mentraktirnya di Starbucks perpustakaan pusat.
Amir
menengok jam tangannya, satu menit lewat dari pukul sembilan pagi. UTS pasti
sudah dimulai. Dosen Pengantar Ekonominya itu sangat tepat waktu pada setiap
kedatangannya, apalagi hari ini ujian. Amir jadi panik. Tidak seharusnya tadi
malam ia makan tahu pedas terlalu banyak sehingga paginya jadi mulas-mulas dan
terlambat. Pemuda berkemeja biru itu jadi teringat kejadian di dekat pasar tadi
sebelum ia akhirnya memutuskan beralih naik ojek. Jalanan lancar seperti
biasanya, namun sedikit ramai dan macet di dekat pasar. Di dalam mobil angkot
itu juga tidak begitu penuh sehingga Amir dapat belajar untuk ujian dengan
lumayan nyaman.
Lima menit berlalu, mobil diam di
tempat. Sebelumnya, tidak pernah macet separah itu. Amir menaikkan kepalanya
mencoba menyelidiki apa yang sedang terjadi di depan. Ia menengok jam
tangannya, masih pukul 8.15. UTS dimulai pukul 9.00, masih aman menurutnya.
Pemuda itu kembali membaca bukunya. Lima belas menit berlalu, masih macet
parah. Sudah tidak aman. Amir berpikir apa yang harus ia lakukan karena
sekarang sudah pukul 8.30. Ia tidak mau terlambat.
Nyit!
Tiba-tiba, perutnya terasa mulas lagi. Sontak ia melirih kesakitan seraya
memegang perutnya. Padahal pagi itu ia sudah lima kali bolak-balik ke kamar
mandi dan mengoleskan minyak kayu putih hampir setengah botolnya, tapi mengapa
masih sakit saja? Amir tak habis pikir. Haruskah dirinya meminum minyak kayu
putih itu? Toilet kampus langsung terbayang di pikirannya. Ya, hal pertama yang
akan dilakukannya begitu tiba di kampus adalah pergi ke toilet! Pikirnya tegas.
Pret! Amir kelepasan buang angin.
Wajah para penumpang lain tertuju lurus kepadanya karena dari tadi hanya ia
yang terlihat sibuk mengelus-ngelus perutnya.
“Uh! Mama, angkotnya bau...,” ujar seorang anak SD
kepada mamanya tak lama kemudian. Sang mama hanya tersenyum bingung, tidak
mengerti harus berkata apa. Tidak mungkin mamanya itu menjawab, “Iya, Nak.
Mas-Mas di pojok itu kentut, jadinya bau, deh!” Sekali lagi, tidak mungkin! Impossible!
Amir
segera keluar dari angkot sambil pura-pura tidak terjadi apa-apa. Ketika ia
berjalan meninggalkan mobil angkot itu, suara-suara yang lain terdengar.
Semuanya berirama mirip dengan suara yang dilontarkan bocak SD tadi. Wajah Amir
merah, namun pikirannya menghiburnya seolah berkata, “Dasar norak, semuanya! Kentut itu kan sehat! Lihat
saja, akan aku bawakan fakta ilmiah kalau kentut itu sehat! Kalian seperti
tidak pernah kentut saja!” Dua menit kemudian, pemuda itu tiba-tiba melupakan
masalah kentut karena terlalu takjub dengan antrean kendaraan yang ada. Ada apa
sebenarnya? Eh? Mengapa banyak yang menjual daun ketupat? Ya Tuhan! Ternyata
Amir lupa kalau besok itu adalah Hari Raya Idul Adha! Pantas saja! Pasar pasti
lebih ramai dibandingkan hari-hari biasa. Amir terus berjalan menyusuri pinggir
jalan, beberapa orang terlihat melakukan hal yang sama karena tidak ada gunanya
naik kendaraan, tidak bisa bergerak. Amir mulai berkeringat karena berjalan
lumayan jauh. Pinggir pasar begitu ramai oleh suara para penjual yang
menawarkan dagangannya, para pembeli yang menawar, suara kambing yang
mengembek, suara klakson kendaraan yang tidak bersabar karena macet, dan
lainnya. Kalau saja hari itu tidak ada ujian, pastilah Amir akan membolos saja
lalu pulang kembali ke rumah. Amir memutar otak. Ah, naik ojek!
Amir sudah tiba di depan kampus, ia
melirik jam tangan lagi, pukul 9.05. Ya, hanya telat 5 menit, pasti dimaafkan!
Amir begitu percaya diri. Ketika merogoh dompet di saku celana belakangnya, Amir
terkejut. Dompetnya hilang! Seluruh isi tas sudah dikeluarkan, namun dompetnya
masih tidak ditemukan. Pekerjaan tukang copet di pasarkah? Akhirnya, Amir
memberikan KTM-nya kepada tukang ojek sebagai jaminan. Untungnya KTM itu tidak
ia masukkan ke dompet kemarin usai pinjam buku di perpustakaan. Amir berlari
terbirit-birit menuju kelas sambil menahan sakit perut. Begitu tiba di kelas,
kosong. Glek!
“Apa-apaan ini? Kelasnya pindah?” Amir langsung
mengambil telepon genggam dari saku depan celananya, berniat bertanya kepada
teman lain.
“#Jarkom: UTS Pengantar Ekonomi hari ini ditunda
minggu depan karena Bu Wati mendadak sakit.” Waktu penerimaan pesan: pukul 8.00
WIB. Pengirim: Junaidi EKO10.
Bruk! Buku yang dibawa Amir jatuh ke
lantai. Tubuhnya lemas. Ia berharap hari itu adalah mimpi, bukan kenyataan.
Seorang gadis berambut panjang dan berlipgloss merah muda datang menghampiri
sambil memanggil dengan manja,
“Mimir... Mimir... Mimir kenapa? Oh, iya, sms waktu
itu, maaf ya belum dibalas, hapeku
sedang direparasi, hehe. Mimir... ayo masuk! Memang tak mau ikut ujian? Eh,
lho, kok kosong? Mimir! Kok kosong? Mimir! Mimir!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar