Zaman dahulu, di suatu desa,
terdapat seorang pemuda miskin yang hidup dengan menjual garam. Setiap harinya,
ia memanggul satu kantung garam, lalu berkeliling dari desa ke desa menjual
garam. Pemuda itu menjual garamnya dengan rajin berkeliling ke desa-desa di
pegunungan.
Suatu hari, ia membawa satu kantung
garam, namun tak ada yang membeli sehingga ia duduk kelelahan di pinggir jalan
dan beristirahat. Ia berpikir, apa sebaiknya pulang saja ke rumah karena ia
begitu kelelahan dan kakinya juga sakit.
Saat itu, terdengar suara yang
aneh. Terdengar suara tawa dan suara obrolan yang seru. Pemuda itu dengan cepat
beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, berjalan menuju arah selatan. Namun, ia
tak melihat apapun.
Diam-diam, ia mencari tempat sumber
suara. Tempat itu jauh di tengah hutan. Namun, di tempat itu pun tak terlihat
orang. Pemuda itu duduk, lalu mengamati lagi tempat sumber suara. Suara itu
muncul dari sebuah makam. Oleh karena itu, diam-diam, ia berjalan menuju ke
arah pemakaman.
Di sana terlihat hal yang aneh.
Tidak terlihat adanya manusia, yang ada bahkan sesosok hewan buruk rupa aneh
yang sedang menggali makam. Setelah menelisik diam-diam, ternyata itu adalah
hewan rubah.
Tiba-tiba, muncul niat untuk
menangkap para rubah itu sehingga, ia terus mengamati gerak-gerik para rubah
itu dengan diam-diam. Hewan rubah itu ada dua ekor, mereka mengeluarkan tengkorak
kepala dari dalam makam. Lalu, memakaikannya di kepala seraya tertawa “Hihihi...,”.
Suara itu terdengar persis seperti manusia yang sedang tertawa.
Pemuda itu membawa sebuah pentungan
kayu. Ia berniat menggunakan pentungan itu untuk memukul rubah. Para rubah
menggali makam sambil bermain-main. Setelah itu, mereka beranjak dari tempatnya
dan bersiap-siap pergi ke suatu tempat. Pemuda itu pun ikut beranjak dan
mengikuti merka dari belakang dengan tekad yang kuat. Setiap hari, ia mencoba
berjualan garam ke mana-mana, tapi tak juga mendapat uang. Oleh karena itu, ia
bertekad setidaknya dapat menangkap rubah.
Para rubah itu masuk ke desa.
Pemuda penjual garam pun mengikuti mereka dari kejauhan. Di mata orang biasa,
mereka sepertinya tak terlihat sebagai rubah.
Para rubah datang mencari rumah duka
yang salah seorang anggota keluarganya baru saja meninggal di desa. Di sana orang-orang
begitu ramai. Namun, tak ada satupun yang melihat keanehan wujud para rubah.
Mereka masuk ke dalam rumah duka, lalu mengucapkan rasa belasungkawa kepada
keluarga yang sedang berduka. Para rubah itu mengikuti seorang yang memberi tahu
jalan dan arahan untuk masuk ke dalam rumah duka. Penjual garam pun mengikuti
dari belakang sampai di tempat para rubah kini berada.
Di rumah duka, orang-orang yang
datang untuk mengucapkan belasungkawa mendapatkan jamuan yang baik. Para rubah
pun mendapat hidangan kue teok (kue
beras khas Korea) dan sul (arak khas Korea). Tanpa basa basi,
mereka langsung melahap hidangan itu. Di mata penjual garam itu, tidak salah
lagi, wujud mereka terlihat sebagai rubah, tapi mengapa orang-orang memperlakukan
mereka sangat sopan seperti tamu bangsawan terhormat. Hal itu sangat aneh. Orang-orang
itu memperlakukan mereka lebih dari orang biasa. Lagipula sebenarnya, jamuan
yang pemuda itu dapatkan pun sedikit di luar dugaannya.
Penjual garam itu menunggu saat yang
tepat. Di saat yang tepat itu, ia berniat dengan sungguh-sungguh untuk
menangkap rubah itu. Oleh karena itu, ia datang dengan membawa pentungan kayu yang
disembunyikan.
Setelah selesai makan, para rubah
bergegas bangkit dari meja makan. Penjual garam pun dengan cepat ikut bangkit. Tepat
saat para rubah hendak masuk ke sarangbang
(kamar cinta), penjual garam memukul bagian belakang kepala rubah itu
menggunakan pentungan. Para rubah langsung terhempas jatuh dan orang-orang
ramai berteriak seraya mendamprat ke arah penjual garam, “ Ada orang mati!
Tangkap laki-laki itu!”
Walaupun begitu, penjual garam terus
memukuli rubah sambil mengancam orang-orang dengan pentungan. Saat itu, para
rubah melarikan diri ke pekarangan. Dua ekor rubah yang sampai detik itu masih terlihat
sebagai bangsawan terhormat, jatuh terguling-guling di pekarangan. Orang-orang
menjadi bingung. Apakah yang sebenarnya terjadi.
Seorang gadis muda mendekat lalu bertanya
kepada penjual garam,
“Maaf, sebenarnya apakah maksud semua ini?”
“Aku mengikuti mereka berdua dari dalam gunung di
sana sampai ke tempat ini. Mereka adalah rubah yang menggali makam lalu memakan
mayat manusia dan berbahaya bagi manusia. Namun, kau tak tahu apapun dan
memperlakukan mereka sebagai tamu...,”
Orang-orang terlihat mengerti
dengan kata-kata pemuda penjual garam itu. Semuanya menampakkan wajah
ketakutan.
“Di mata kami, wujud mereka itu terlihat sebagai
manusia. Bagaimana bisa di matamu terlihat sebagai rubah?”
Pertanyaan dari seorang pemuda itu
sangat luar biasa bagus. Sebenarnya, penjual garam itu sendiri pun tak tahu
jawabannya. Hanya saja, di dalam penglihatannya, wujud mereka itu terlihat
sebagai rubah.
“Di mata kami, mereka terlihat sebagai bangsawan
terhormat yang memakai baju sutra mahal. Tidakkah sangat mengejutkan jika dari
awal kau sudah melihat wujud mereka sebagai rubah?”
Penjual garam tak bisa menjawab
pertanyaan pemuda yang kritis itu.
Penjual garam itu berkata seraya melihat
pentungan yang tadi dibawa dan digunakannya untuk memukul rubah,
“Semua itu karena pentungan ini. Kita bisa
membedakan mana manusia dan mana rubah jika menggunakan pentungan ini.”
“Pentungan itu!”
Orang-orang yang berkumpul, membuka
mata dengan lebar dan menatap pentungan itu sebagai benda yang luar biasa.
“Tentu saja. Semua berkat pentungan ini, aku bisa
menangkap dan memukul rubah itu.”
Penjual garam mengangkat pentungan
itu lebih tinggi dan semangat menggebu-gebu.
“Kalau begitu, ayo kita beli pentungan itu!”
Yang paling pertama maju adalah
pemuda kecil yang tadi bertanya kritis kepada penjual garam.
“Maaf, bagaimana mungkin benda yang berharga ini dijual
begitu saja?”
Walaupun si penjual garam tadi
berkata bahwa sulit untuk menjual kipasnya, namun ternyata dalam otaknya ia
berpikir dengan serius berapa harga yang pantas ia dapatkan dalam waktu yang
sesingkat itu.
“Jual saja kepadaku karena aku akan memberimu banyak
uang.” jelas pemuda itu.
“Tak bisa. Ini adalah hartaku. Aku tak bisa hidup tanpa
benda ini. Aku hanya punya benda ini.”
Penjual garam memegang teguh
pendapatnya untuk tak menjual pentungan itu.
“Jual saja kepadaku karena aku akan membayar
sebanyak apapun.”
Penjual garam sepertinya menyerah
dengan kata-kata pemuda tadi. Kemudian ia berkata,
“Kalau begitu, berapa banyak yang akan kau berikan?”
“500 nyang
(mata uang won Korea pada zaman
dahulu)”
Dada penjual garam berdegup
kencang. 500 nyang katanya.
Seumur-umur, ia tak pernah melihat uang sebanyak itu. Namun, beberapa saat
kemudian, si penjual garam itu berubah pikiran. Ia pikir bahwa benda itu tak
bisa diperjualbelikan.
“Apa maksudmu? Ini adalah hartaku, bagaimana bisa
uang 500 nyang menggantikannya?”
Pemuda itu berani menawar sekali
lagi,
“Kalau begitu, aku akan beli seharga 100 nyang.”
Penjual garam menggelengkan
kepalanya seraya berpikir tapi ternyata benar juga.
“Kalau begitu, berapa yang ingin kau dapatkan?”
pemuda itu menatap lurus seraya bertanya kepada penjual garam.
“Maaf, apa kau mau menjual benda ini? Kau kan banyak
urusan, jadi jual sajalah. Kalo tak bersedia, ya sudah, sudahi saja semua ini.”
Si penjual garam sebenarnya ingin
menolak tawaran itu, tapi ia begitu bingung.
“Kalau begitu akan kujual seharga 1000 nyang.”
“Baiklah kalau begitu.” kata pemuda tadi. Ia
berpikir bahwa hal itu adalah keputisan yang tepat walaupun dirinya sedikit
merasa sayang pada uangnya.
Penjual garam mendapatkan uangnya
dari pemuda itu sebanyak 1000 nyang. Kemudian,
ia berikan pentungan itu seraya kabur dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Pemuda yang telah membeli pentungan
dari penjual garam tadi, berniat untuk menangkap rubah dengan semangat
menggebu-gebu. Hal tersebut karena ia memiliki sebuah benda yang bisa
mengetahui dengan cepat mengetahui apakah seseorang itu seekor rubah atau
bukan.
Sesuai perkataan si penjual garam
bahwa orang yang membawa pentungan itu akan bisa membedakan mana rubah yang
bisa mengubah diri menjadi manusia. Ia pergi ke tempat yang ramai akan
orang-orang sambil membawa pentungan. Ia tak menemukan seekor rubah pun walau
sudah membawa pentungan itu.
“Benar juga. Itu dia!”
Pemuda itu menemukan ide yang hebat
seraya memukul ringan lututnya. Di rumah duka itu, banyak orang yang memakai
baju sutra. Ia sudah mencoba memukul para bangsawan yang tak terlalu tinggi
jabatannya dan tak terlalu terhormat itu yang ternyata bukan rubah. Berarti
rubahnya adalah para bangsawan dengan pakaian sutra dengan jabatan lebih tinggi
dan terlihat lebih sopan dan terhormat. Itulah rubahnya. Begitu pikirnya
sehingga pemuda itu banyak mendatangi tempat ramai di mana terdapat banyak
bangsawan terhormat. Di sana, ia memukuli
mereka menggunakan pentungannya.
“Kau! Bedebah tengik yang terlempar dari mana kau?”
Pemuda itu mengira bahwa segera
setelah dipukul dengan pentungan, bangsawan itu akan langsung berubah menjadi
rubah. Bukankah dirinya telah memukuli bangsawan dengan jabatan tinggi.
Setelah itu, beberapa pemuda
berbadan besar membawa dan mengikat pemuda itu.
“Seret laki-laki ini ke pemakaman! Laki-laki ini
telah menganggu perkumpulan kita di tengah hari bolong!”
Sambil mendengar teriakan
orang-orang, pemuda itu akhirnya menyadari bahwa orang-orang yang sudah dipukulnya
tadi bukanlah rubah. Ia pun akhirnya mengetahui bahwa pentungan seharga 1000 nyang yang telah ia beli dari penjual
garam waktu itu adalah palsu dan bohong belaka.
SUMBER: 제주도 이야기 2 karya 현길언
Tidak ada komentar:
Posting Komentar