Ia
terdiam memandang fotonya. Akhir-akhir ini perasaannya aneh. Ia sendiri tak
mengerti perasaan apa sebenenarnya yang sedang ia rasakan kini. Jika ia dipaksa
untuk menggambarkan perasaan hatinya, mungkin ia akan menggambarkan bahwa tepat
di dalam hatinya ada beberapa perasaan yang bercampur lebur menjadi sebuah
perasaan yang tak mudah dideskripsikan. Ada rasa menyesal, khawatir, berdosa,
sedih, tertinggal, tak dicintai, tak berguna, terluka, ingin melupakan,
kesepian. Namun di samping itu juga muncul perasaan bersyukur, bersemangat,
mencintai, dihargai, diamati, bermanfaat, dirindukan, diberkahi. Perasaan itu
semua menjadi satu seperti adonan kue di sebuah loyang bernama hati.
Ia
seperti dua orang yang berbeda. Suatu waktu bisa menjadi orang yang bersemangat
menggebu-gebu ingin menguasai dunia. Akan tetapi, di waktu yang lain ia memilih
memojokkan diri di kamarnya yang gelap, sendiri, di pojok, menyendiri dan
menangis tanpa air mata. Ia berkata kepadaku bahwa ia lelah. Lelah sekali. Ia
sendiri tak tahu mengapa dan ada apa gerangan dengan hatinya. Hatinya seperti
sedang berperang dan ia harus memilih perasaan mana yang akan ia rasakan lebih
dominan untuk seterusnya.
Aku
agak ragu apa aku bisa membantu dia. Sebenarnya menurutku ia tampak biasa-biasa
saja dari luar. Ia tersenyum bahkan tertawa. Tapi ternyata di dalam hatinya ia
sedang berperang. Setidaknya, begitulah penggambaran hatinya menurut yang aku
dengar. Ia bisa merasakan dua perasaan yang saling bertentangan sekaligus,
seperti bermanfaat namun tak berguna. Aku rasa, ada yang salah dengan dirinya.
Bagaimana mungkin ada dua perasaan seperti itu dalam waktu yang sama? Aku belum
pernah merasakannya, bahkan belum pernah mendengarnya.
Mungkin
itulah yang ia sebut dengan hati yang
berperang?
Suatu
waktu ketika beberapa perasaan menyatu dan bahkan terjadi perbenturan
antarperasaan yang berlawanan. Mengapa bisa begitu? Apakah hatinya jarang ia
bersihkan sehingga kotoran hatinya selalu tersisa dan kini menumpuk menguapkan
perperangan itu ke dalam otaknya? Sulit. Sulit aku memahaminya. Ia pun meminta
nasehat dariku. Aku yang tak layak dimintai nasehat ini pun hanya bisa menjawab
singkat,
“Mungkin
kau harus lebih banyak bangun di sepertiga malam, Sahabatku. Aku tidak mengerti
padahal aku ini sahabatmu. Bahkan dirimu yang merasakan itu pun tak paham apa
yang sedang terjadi pada hatimu. Tapi, ada yang lebih mengerti dan paham
tentang kita, dari ujung rambut sampai ujung kaki, setiap milimeternya. Dia
lebih senang jika kita temui dalam sepertiga malam. Ya, walaupun Dia bisa kita
temui kapan saja. Tapi, lebih baik kau temui Dia di waktu yang sudah kusebut
tadi karena saat itu Dia sangat baik, melebihi waktu-waktu yang lain. Dia ada
untuk membantu kita. Dia akan selalu ada. Bahkan, Dia bisa memahami suara hati
kita. Percayalah. Pasti ada maksud tertentu pada diri kita kenapa kita harus
hidup di dunia ini. Juga, selalu ada alasan kenapa dalam waktu-waktu tertentu
kita merasa nyaman, namun dalam waktu yang lain kita merasa terpuruk. Hikmah di
setiap saat. Serta jadikanlah kesederhanaan nasehatku ini sebagai penutup,
yakni sabar dan sholat. Cukup. Aku sayang padamu, Sahabatku dan Dia pun sangat
sayang kepadamu.”