Siang itu, saya dan kedua teman saya sedang duduk-duduk santai di depan gedung 5. Kami bertiga menunggu kelas Bahasa Inggris Akademik. Kelas itu baru akan dimulai sekitar setengah jam lagi. Kami pun mengobol ke sana ke mari. Joget ke sana joget ke sini. Lho? Jangnan![1] Hehehe! Hmm, kami punya alasan kenapa mengambil mata kuliah pilihan itu. Semua itu karena sebuah virus bernama virus linguistik! Virus itu telah menjalar dan menyerang otak sehingga menciptakan sebuah penyakit baru, lebih baru daripada H2N1. Hehehe! Penyakit itu bernama alih kode!
Begini singkatnya, kalau kami ingin menyebut kata ‘study’ maka kata yang akan keluar dari mulut adalah ‘gongbuhada’. Istilah buruknya, kami jadi sedikit amnesia untuk bahasa Inggris karena mempelajari bahasa lain. Oleh karena itu, kami butuh vaksin bahasa Inggris~. Hehehe! Sekali lagi, vaksin! Sebenarnya, menurut dosen linguistik sendiri, alih kode itu memang ada dan normal menyerang para aktivis bahasa. Enggak hanya mahasiswa, bahkan salah satu dosen di jurusan kami mengaku menderita penyakit yang sama! Padahal S1 beliau adalah prodi bahasa Inggris!
“Hanenim[2], saya tolong sembuhkanlah penyakit kami ini...,” doa saya sambil mengangkat tangan bergaya Sulis Cinta Rasul.
Tiba-tiba, kami didatangi oleh sesosok pemuda sipit tampan berkaos abu-abu. Ia datang bersama dua orang Indonesia. Kemudian mereka memberikan semacam flyer berisi undangan acara yang bertajuk Korean Day di gedung 4.
“Hi, (sambil menyodorkan cincin kawin, eh maksudnya si flyer itu) Korean Day...” kata pemuda itu dengan bahasa Inggris.
“Heh? Oh...” sambil melihat-lihat dan membolak-balikkan kertas itu. Siapa tahu ada cincin kawin terselip.
“Emm, you know... song ‘nobody’? Wonder girls?” tanyanya.
Saya mengangguk perlahan sambil menyunggingkan senyuman maut. Tiba-tiba, di luar perkiraan, pemuda itu malah tak segan-segan menyanyikan lagu tersebut sambil menari seksi. Hahaha! Yang kedua bohong! Setelah mendengar konser kecil-kecilan pemuda itu, akhirnya saya menjawab dengan bahasa Korea saja.
“Oh, arrasseoyo..., (oh, saya tahu...,)”
“Wuah! Your pronounciation is good!” kata pemuda itu dengan jempol besarnya.
“Anniyeyo. Jal mothamnina..., (enggak, kok. Biasa saja...,)” jawabku kaget.
Loh, kok pemuda itu menjawab dengan bahasa Inggris LAGI? Jelas-jelas saya sudah membalasnya dengan bahasa Korea tadi! Penyakit alih kode makin membuat otak saya konslet. Kepala saya jadi nyut-nyutan. Sumpah!
“Jeon hanguk hagwa. Jae chingu... (saya mahasiswa prodi Korea. Ini teman saya...)” kata saya sambil menunjuk-nunjuk Ajoshi.
“I hang nyeon... (tingkat dua...)” tambah saya.
“Heh? I rang nyeon? I hang nyeon? (heh? Tingkat satu apa tingkat dua?)” tanyanya lagi. Ya ampun, budek ya sepertinya ini orang!
“I hang nyeon! “ kata saya lagi, kini sambil memberi angka dua dengan tangan.
“Oh, what is your majoring?”
GLEKK!
Sumpah budek ya nih orang? Tadi kan saya sudah bilang!!!! Arrrghhh! Untung saja pemuda itu tampan... jadi saya senyum-senyum saja padahal dalam hati sudah mau cekek lehernya saja dari tadi. Mau bilang hanguk hagwa[3] lagi, nanti dia tanya lagi. Daripada nyut-nyutan lagi lebih baik saya jawab saja...
“Korean studies!” nah lho, bingung dah dia sekarang. Apa bedanya Korean studies dengan hanguk hagwa. Hahaha!
“Oh, you know Yayah?” tanyanya lagi.
“Yayah?” inilah salah satu kehebatan bahasa Korea. Kalau enggak tahu apa artinya, katakan saja lagi kepada lawan bicara dengan intonasi naik.
“Uri hubae!” kata Ajoshi (bukan nama sebenarnya) tiba-tiba. Dasar itu anak! Ke mana saja dia??! Bertapa??! Saya sudah pusing tujuh keliling mengobrol dua bahasa dengan pemuda ini sampai otak mendidih. Eeeh, dia baru muncul! Haduh haduh!
"She is my friend..." tambah Ajoshi.
"Ohh..."
“Emm, so you’re BIPA?” tanya saya. BIPA adalah program kursus bahasa Indonesia untuk orang asing di kampus. Akhir-akhir ini kebanyakan orang Korea yang datang belajar ke kampus. Jadi, di kampus serasa di Korea. Hehehe!
“BI...?? what??”
Nah lho, sekarang jadi saya yang bingung bagaimana menjelaskan tentang BIPA kepada pemuda ini. Seperti pemadam kebakaran saja, bagian lain otak saya memberikan sinyal darurat tit-tut-tit-tut. Itu suara sinyal darurat apa suara kentut yang ditahan? Hemm, saya segera menoleh ke Ajoshi, mengedip-ngedipkan mata meminta bantuan. Gyaaa! Anak itu sekali lagi enggak menghiraukan saya. Ya, ampun! Anak itu malah terlihat asyik mengobrol bersama Lao Tse (bukan nama sebenarnya juga). Kalau Lao Tse, dia bukan anak prodi Korea, melainkan prodi Cina. Jadi, saya enggak bisa mengharap banyak darinya. Akhirnya, saya phogihae[4] dan bertanya kepada salah satu teman pemuda itu yang kelihatannya orang Indonesia.
“Mbak! Ini acara anak BIPA ya?”
“Oh, bukan... ini acara mahasiswa Korea yang datang ke Indonesia...,”
“You have to come!” kata pemuda berkaos abu-abu itu kemudian.
“Eh? Ne... ne..., (eh? iya... iya...,)”
Saya hanya bisa mengatakan itu sambil manggut-manggut seperti burung merpati. Sebenarnya saya ingin menanyakan namanya, tapi saya bingung. Maklum, otak saya masih konslet. Kami senyam senyum saja berdua seperti orang gila. Ajoshi yang duduk di depan benar-benar keterlaluan! Akhirnya, pemuda itu pun pamit dan pergi sambil tersenyum manis. Hehehe! Dari rona kedua matanya, terlihat ia sangat mengharapkan kedatangan diri saya yang cantik dan menggemaskan ini. Hahaha!
Beberapa saat kemudian, teman saya yang lain, sebut saja Megi muncul. Ia datang kemudian melihat kertas flyer di tangan saya. Megi memberi tahu bahwa kata dosen kami, anak prodi Korea wajib datang ke acara itu. Singkat cerita, kami semua datang ke acara itu. Saya sempat berfoto dengan pemuda berkaos abu-abu yang sukses membuat otak saya konslet itu. Kemudian, ia menyampaikan terima kasihnya karena sudah menyempatkan datang. Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar