Minggu, 22 April 2012

Tiga Buah Ramalan Ratu Seondeok


Tiga buah ramalan yang pernah dibuat Ratu Seondeok semasa pemerintahannya di Kerajaan Silla. Ratu Seondeok dikenal sebagai Ratu pertama Korea dan ia adalah seorang wanita yang cerdas dan tajam dalam berpikir. 
Ramalam pertama: suatu hari, penguasa Kerajaan Tang di Cina mengirimkannya sebuah hadiah berisi tiga genggam penuh bibit tanaman semak serta sebuah lukisan bunga berwarna merah, putih, dan ungu. Ratu Seondeok melihat lukisan itu dan kemudian berkata, “Bunga-bunga tanaman semak itu tidak akan mempunyai aroma harum.” Tanaman semak itu kemudian ditanam di kebun istana dan benar saja, tanaman yang dikirimkan penguasa Kerajaan Tang itu tidak beraroma semenjak awal ditanam, mekar bahkan sampai mati.
Ramalan kedua: pada suatu musim dingin di Kolam Pintu Gerbang Permata Hijau yang berlokasi di kuli suci Yeongmyo, tiba-tiba terjadi sebuah kebisingan akibat kumpulan suara katak. Katak-katak tersebut berkuak-kuak selama tiga sampai empat hari lamanya. Hal yang sangat aneh bagi manusia karena pada musim dingin seperti itu seharusnya para katak melakukan proses hibernasi. Masyarakat dan orang-orang istana yang heran dengan kejadian itu pun akhirnya bertanya kepada Sang Ratu apakah gerangan kiranya kejadian itu. Beberapa saat kemudian, ratu dengan tiba-tiba segera memerintahkan dua orang jendral, Al Cheon dan Piltan untuk memimpin dua ribu prajurit ke Lembah Okmun yang terletak di sebelah barat pinggir kota Gyeongju. Mereka ditugaskan untuk mencari dan membunuh pasukan musuh yang bersembunyi di dalam hutan. Para jendral pun melaksanakan tugas mencari pasukan musuh di Lembah Okmun sebagaimana yang telah diamanatkan ratu. Ketika mereka mencapai lembah tersebut, mereka menemukan 500 prajurit Kerajaan Baekje. Pasukan Kerajaan Silla kemudian mengepung dan membunuh mereka. Setelah itu, mereka menemukan seorang Jendral Kerajaan Baekje yang sedang bersembunyi di balik sebuah batu di Gunung Selatan. Jendral tersebut juga dihabisi oleh pasukan Kerajaan Silla sehingga pada akhirnya, mereka dapat mencegah dan bahkan menghabisi sebuah pasukan besar Baekje yang mempunyai rencana akan menyerang Kerajaan Silla.
Ramalan ketiga: suatu hari, ketika Ratu Seondeok berada dalam keadaan sehat walafiat, ia memanggil orang-orang istananya dan berkat kepada mereka, “Aku akan wafat pada suatu tahun, suatu bulan, dan suatu hari. Ketika aku sudah pergi, bakarlah diriku di tengah-tengah Toricheon.” Orang-orang istana bingung karena tidak mengetahui tempat yang disebut ratu itu. Mereka pun bertanya kepada ratu. Ratu kemudian menjawab dengan menunjuk ke sebuah bukit di daerah selatan.
Sewaktu hidupnya, orang-orang istana bertanya kepada Ratu Seondeok bagaimana caranya ia bisa membuat ramalan-ramalan tersebut. Ratu pun menjawab…
Ramalan pertama tentang tanaman semak dan lukisan bunga yang dihadiahkan oleh penguasa Kerajaan Tang: “Di dalam lukisan itu terdapat bunga. Namun, tidak terdapat kupu-kupu. Hal itu menandakan bahwa tanaman itu tidak beraroma. Penguasa Tang telah mengejek keadaanku yang tidak bersuami.” Selain itu, penguasa Kerajaan Tang yang mengirimkan lukisan bunga itu pun diduga mempunyai keahlian melihat masa depan. Tiga tangkai bunga yang terlukis di dalam lukisan tersebut menyimbolkan tiga orang penguasa wanita atau ratu di Korea. Mereka adalah Seondeok, Jindeok, dan Jinseong. Ratu Jindeok menggantikan pemerintahan Ratu Seondeok dan berkuasa antara tahun 647-654 M (kurang lebih selama 7 tahun), serta Ratu Jinseong yang menduduki tahta pada tahun 888 M.
Ramalan kedua tentang kebisingan suara katak di Lembah Okmun: “Untuk katak-katak di Kolam Pintu Gerbang Permata Hijau, mereka seperti para prajurit dan Permata Hijau dapat berarti wanita. Warna wanita adalah putih dan juga dapat menyimbolkan daerah barat (Baekje). Oleh karena itu, aku mengetahui bahwa para penyerang datang dari arah barat (Baekje). Jadi, aku tahu bahwa akan mudah untuk melawan para musuh tersebut.”
Ramalan ketiga tentang amanat untuk membakar jasadnya dan menguburnya di Toricheon ketika ia telah berpulang. Toricheon, sebuah tempat yang disinggung dalam kitab suci agama Buddha. Toricheon dan Sacheonwangcheon adalah dua buah surga dalam agama Buddha. Hal itulah yang membuat orang-orang istana pada waktu itu kebingungan karena tak tahu keberadaan tempat itu. Yang mereka tahu, Toricheon adalah nama sebuah surga. Pada akhirnya, waktulah yang dapat menjawab pertanyaan tentang ramalan ketiga ini. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 656 M, Raja Munmu membuat sebuah kuil bernama Kuil Sacheonwang. Kuil itu juga disebut Kuil untuk Empat Raja Dewa. Kuil Sacheonwang mempresentasikan empat arah mata angin dan maksudnya adalah Buddha dapat ditemukan di keempat arah mata angin itu. Kuil Sacheonwang dibangun di bawah makam Ratu Seondeok. Tidak tepat di bawah kuburannya tetapi di bawah bukit. Pada masa Kerajaan Silla, kuil itu digunakan untuk tempat berdoa. Orang-orang berdoa untuk kekuatan, ketahanan, dan keamanan negeri. Selain itu mereka juga berdoa untuk mengajukan permohonan baik untuk para keluarga kerajaan.

makam Ratu Seondeok di Gyeongju

Sacheonwang

bagian dalam Sacheonwang


Sumber dan referensi:
buku Samguk Yusa ditulis oleh Ilyeon

RANGKUMAN BUKU METODE KARAKTERISASI TELAAH FIKSI KARYA ALBERTINE MINDEROP


Buku Metode Karakterisasi Telaah Fiksi ditulis oleh Albertine Minderop dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di Jakarta pada tahun 2005. Buku ini berisi lima buah bab dengan isi 178 halaman. Walaupun jumlah halaman terhitung banyak, hal tersebut disebabkan oleh banyaknya kutipan yang ditulis dan penggalan-penggalan cerita yang dianalisis oleh penulis. Pada bab pertama, yaitu Pendahuluan, dijelaskan bahwa fiksi tidak hanya mengacu pada novel atau cerita pendek saja, namun drama maupun puisi naratif juga merupakan salah satu bagan dari fiksi. Drama diketegorikan lebih dekat pada cerita fiksi bila dibandingkan dengan puisi karena drama bersifat fiktif, baik dalam pengertian faktual sehingga alur pada drama pada umumnya hanya rekaan. Pembaca karya fiksi atau mahasiswa yang bergumul dengan bidang sastra kerap kali dirancukan oleh istilah karakter dan karakterisasi. Karakter berarti peran atau watak sedangkan karakterisasi berarti pemeranan atau pelukisan watak.

Bab kedua, yaitu Metode Karakterisasi dalam Telaah Fiksi, dijelaskan bahwa banyak metode yang dapat digunakan dalam sebuah karakterisasi. Pertama adalah metode langsung (telling), yaitu pemaparan yang dilakukan langsung oleh pengarang dan biasanya digunakan oleh kisah-kisah zaman dahulu sehingga pembaca hanya mengandalkan penjelasan yang dilakukan pengarang semata. Pada metode ini, karakterisasi dapat melalui penggunaan nama tokoh, penampilan tokoh, dan tuturan pengarang. Penggunaan nama tokoh dugunakan untuk memperjelas dan mempertajam perwatakan tokoh serta melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain, contohnya Edward Murdstone dalam David Copperfield karya Charles Dickens; (stone sama dengan batu yang bersifat keras) berarti si tokoh memiliki watak yang keras. Dalam suatu karya sastra, penampilan para tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh yang dimaksud misalnya, pakaian apa ayng dikenakannya atau bagaimana ekspresinya. Pemberian rincian tentang cara berpakaian memberikan gambaran tentang pekerjaan, status sosial, dan bahkan derajat harga dirinya. Karakterisasi melalui tuturan pengarang memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahannya. Pengarang tidak sekadar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh, tetapi juga mencoba membentuk presepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya.

Metode kedua adalah metode tidak langsung (showing): dialog dan tingkah laku, yaitu metode yang mengabaikan kehadiran pengarang sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampikan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Pada metode ini, karakterisasi dapat mencakup enam hal, yaitu karakterisasi melalui dialog; lokasi dan situasi percakapan; jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur; kualitas mental para tokoh; nada suara, tekanan, dialek, dan kosa kata; dan karakterisasi melalui tindakan para tokoh. Pembaca harus memperhatikan substansi dari suatu dialog. Apakah dialog tersebut sesuatu yang terlalu penting sehingga dapat mengembangkan peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya. Dalam kehidupan nyata, percakapan yang berlangsung secara pribadi dalam suatu kesempatan di malam hari biasanya lebih serius dan lebih jelas daripada percakapan yang terjadi di tempat umum pada siang hari. Situasi dalam percakapan pun dapat mendukung dan memperjelas watak para tokoh yang dibicarakan. Jati diri tokoh yang dituju oleh penutur, penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam cerita, maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lainnya. Kualitas mental para tokoh dapat dikenali melalui alunan dan aliran tuturan ketika para tokoh bercakap-cakap. Nada suara, tekanan, dialek, dan kosa kata dapat membantu dan memperjelas karakter para tokoh apabila pembaca mampu mengamati an mencermatinya secara tekun dan sunggh-sungguh. Selain melalui tuturan, watak tokoh dapat diamati melalui tingkah laku. Tokoh dan tingkah laku bagaikan dua sisi pada uang logam. Tampilan ekspresi wajah pun dapat memperlihatkan watak seorang tokoh. Selain itu, terdapat motivasi yang melatarbelakangi perbuatan dan dapat memperjelas gambaran watak para tokoh. Apabila pembaca mampu menelusuri motivasi ini, maka tidak sulit untuk menentukan watak tokoh.

Pada bab ketiga, Metode Karakterisasi Melalui Gaya Bahasa, dijelaskan bahwa karakterisasi dapat melalui Simile, Metafor, Personifikasi, dan Simbol. Pada umumnya, gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segara dan berkesan. Simile adalah perbandingan lansung antara benda-benda yang tidak selalu mirip, biasanya terdapat kata “seperti” atau “laksana”. Metafor adalah suatu gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung. Personifikasi adalah suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-manusia, termasuk abstraksi atau gagasan. Simbol dalam kesusastraan dapat berupa ungkapan tertulis, gambar, benda, latar, peristiwa, dan perwatakan yang biasanya digunakan untuk memberi kesan dan memperkuat makna dengan mengatur dan mempersatukan arti secara keseluruhan.

Bab keempat berjudul Metode Karakterisasi Melalui Sudut Pandang. Pada bab ini dijelaskan bahwa karakterisasi dapat melalui sudut pandang ketiga, sudut pandang pertama, sudut pandang campuran, dan sudut pandang dramatik. Berbicara tentang narator, berarti kita berbicara tentang sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan. Sudut pandang ketiga digunakan dalam pengisahan cerita dengan gaya “dia”. Narator atau pencerita adalah seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh  cerita dengan menyebut nama, misalnya John, Mary, dan sebagainya atau penggunaan kata ganti seperti: ia, dia, atau mereka. Sudut pandang pertama, teknik ini menggunakan sudut pandang “aku”, seakan-akan pencerita menceritakan pengalamannya sendiri. Pembaca dibawa ke pusat kejadian dengan melihat, merasakan melalui mata dan kesadaran orang yang bersangkutan.sudut pandang campuran terdapat dalam sebuah novel apabila si pengarang menggunakan lebih dari satu teknik pencerita. Penggunaan sudut pandang dramatik atau objektif dalam sebuah cerita tidak disampaikan oleh pencerita melainkan disampaikan oleh para tokoh melalui dialog. Tidak hadirnya pencerita, maka pengisahan disampaikan melalui penampilan para tokoh suatu karya sastra bentuk drama.

Bab terakhir, Arus Kesadaran, dalam bab terakhir ini dijelaskan bahwa arus kesadaran merupakan suatu teknik karakterisasi yang tampil dari kesadaran atau alam bawah sadar mental dan pola pikir manusia yang mencakup pikiran, persepsi, perasaan, dan asosiasi yang mengalir begitu saja. Ada pula bahasan yang mengatakan bahwa arus kesadaran adalah sebuah cara mendramatisasi pikiran, sebuah cara membuat kita mengena apa ayng dirasakan oleh tokoh. Penggunaan teknik arus kesadaran berhubungan dengan waktu naratif atau waktu yang dialami tokoh dalam cerita.