Rabu, 09 November 2011

Syahrini Mencari Jodoh

CERPEN WRITING SPOT FORMASI *wehehe
TEMA: PENOKOHAN

Siang yang amat terik. Wiro Sableng sedang membasuh wajahnya yang kepanasan di pinggir sungai. Sejenak ia terdiam memandangi wajahnya yang hitam, kedua matanya yang besar, hidungnya yang pesek, dan rambutnya yang panjang dan lepek karena keringat. Dalam hati, ia berdecak kagum sendiri melihat ketampanan wajahnya di dalam bayangan air. Seusai istirahat dari latihan bela diri itu, Wiro Sableng segera membersihkan dirinya dan bersiap-siap kembali ke kampung.

Di tengah pasar, terdapat kerumunan yang terlihat sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Wiro Sableng pun tertarik untuk mendatang mereka. Ternyata, mereka sedang ribut memperbincangkan sayembara calon suami Syahrini. Menurut flyer-flyer yang dibagikan ke seluruh penduduk kampung, Syahrini Sang Penyanyi Terkenal Seantero Kampung itu sedang mencari seorang pemuda perkasa yang akan ia jadikan sebagai suami. Siapa yang tidak mengenal Syahrini yang berparas memesona sejuta Adam di kampung itu. Wiro Sableng pun kemudian meminta restu Nenek Guru Sinto Gendeng di gunung. Mendengar niatan muridnya, Sinto Gendeng terkekeh tidak percaya dan berkata bahwa pemuda itu tidak akan berhasil. Namun, karena tngkat kepercayaan dirinya yang sangat tinggi, Wiro Sableng tidak menghiraukannya.

Beberapa hari kemudian, Wiro Sableng mendaftarkan diri di balai desa dan berniat penuh untuk mengikuti semua ujian yang diadakan panitia. Ujian pertama adalah ujian ketangkasan dan bela diri. Wiro Sableng tertawa terbahak-bahak. Ia telah bertahun-tahun berlatih bela diri dengan nenek gurunya sehingga ia berpikir pasti dapat menyelesaikannya dengan mudah. Wiro Sableng mulai berkonsentrasi mengumpulkan tenaga dalamnya. Sementara itu, beberapa meter di dekatnya, Hulk Si Hijau dengan kekuatan supernya dengan cepat menghancurkan sebongkah besar batu di hadapannya. Tidak hanya Hulk, Hyeon Bin pun yang notabenenya sebagai pemain teater kampung, sukses menghancurkan bongkahan batu yang lain dengan granat. Wiro Sableng kalah cepat.

Hari berikutnya, ujian kesenian. Para peserta sayembara diharuskan untuk mempersembahkan sebuah pertunjukan seni, entah menyanyi, menari, memainkan alat musik, melukis, ataupun memahat patung. Kali ini, Hyeon Bin lagi-lagi menjadi primadona. Semua orang mengira pemuda tampan bermata sipit itu akan memainkan sebuah peran. Namun ternyata, ia bernyanyi! Dan suara yang keluar dari tenggorokannya sangat indah dan membuai penonton serta Syahrini sendiri yang duduk di depan panggung. Sementara itu, Wiro Sableng hanya dapat memainkan seruling bambunya. Tidak terlalu jelek memang, namun tetap saja kalah indah dengan suara Hyeon Bin.

Wiro Sableng yang mulanya penuh percaya diri itu pun putus asa. Ia telah kalah 2-0 dari Hyeon Bin. Tela dipastikan pasti pemuda tampan berahang lancip itu yang akan menjadi calon suami Syahrini kelak. Wiro Sableng mengelap keringat di dahinya dengan sapu tangan pemberian nenek guru. Ia pun berjalan kembali pulang dengan linglung sampai-sampai tidak menyadari sapu tanagn kesayangannya terjatuh ke tanah. Dari kejauhan, Wiro Sableng terkejut karena melihat nenek gurunya datang dari kejauhan. Ia pun segera berlari menghampirinya. Ternyata, Sinto Gendeng datang dari gunung hanya untuk memberikan dukungan kepada murid kesayangannya itu. Wiro Sableng sangat terharu, namun ia berkata bahwa ia telah gagal dan akan kembali saja ke gunung untuk merawat nenek guru. Wiro Sableng pun segera menggendong nenek gurunya di belakang punggung dan berjalan untuk kembali pulang.

Sementara itu, Syahrini tidak sengaja menemukan sapu tangan Wiro Sableng yang tertulis dalam jahitan di dalamnya “Dari nenek guru. Untuk Wiro, murid kesayanganku.” Syahrini menoleh kanan kiri mencari di mana keberadaan Wiro Sableng. Sampai di sebuah jalan, ia melihat pemuda itu sedang menggendong nenek gurunya sambil mengobrol dengan akrab. Beberapa orang di jalan itu berkata,

“Lihat itu, Wiro Sableng sedang menggendong nenek gurunya kembali ke gunung yang jauh itu. Berbakti sekali, ya, pemuda itu!”
“Berbeda dengan pemuda-pemuda yang lain, ya. Mereka hanya main perempuan dan melupakan neneknya...,”

Entah apa yang dirasakan Syahrini. Sambil mengenggam sapu tangan Wiro Sableng, dalam tatapan syahdu, Syahrini berbisik sendiri,

“Wah, ternyata Wiro Sableng sangat sesuatu!”

***

Ngos ngos ngos...

Pagi itu, hari yang ungu. Semoga wajah saya tak terlihat aneh memakai jilbab warna ungu, hehe. Maklum, itulah jilbab ungu pertama saya. Dari rumah, saya telah merencanakan untuk izin pergi ke FIB sebentar untuk mengurus pendaftaran pengawas SIMAK UI 2011. Hari itu deadline pendaftaran di BEM. Lumayan dapet duit, hehe. Sekitar pukul 10.00 pagi, saya langsung loncat menyebrang ke jembatan Teksas. Tuing! Dari FE ke FIB... gampanglah paling 5 menit doang. Tinggal loncat kan? Awas aja kepeleset nanti nyemplung ke danau...

Saya naik tangga ke gedung 9, menuju ke ruang BEM. Saya menongolkan kepala di pintu ruang BEM(*menongolkan?), ternyata teman yang saya tunggu belum datang. Saya agak terkejut ketika melihat ada Pak Fauzi Bowo sedang duduk di ruang BEM. Heh? Mau ngapain dia di situ? Tiba-tiba, saya mendengar ada yang membicarakan acara Inspiration Days. Lho lho, itu kan acara saya? Kata saya dalam hati. Singkat cerita, ternyata bapak utusan walikota Depok yang mirip Fauzi Bowo itu tersesat. Ia berencana untuk datang ke acara ID yang ia tahu ada di gedung 9 FIB. Ia belum tahu kalau tempatnya itu diganti di FE *padahal ajudannya sudah diberitahu panitia lho. Waduh... Ya sudah, akhirnya saya mengantar bapak utusan walikota itu ke FE.

Saya: “Kita mau jalan aja, Pak?”
Bapak: “Iya iya.”
Saya: “Oh, oke.”
Bapak: “FE itu jauh enggak, Mbak?”
Saya: “Emm, enggak kok Pak. Noh di sono noh! Di sebrang jembatan!”
Beberapa saat kemudian di jembatan Teksas. Entah mengapa rasanya lamaaaaaaaa sekali berjalan dari gedung 9 ke jembatan Teksas.
Bapak: “Ngos ngos ngos...”
Saya: “Eh, buset. Kenapa nih si bapak? Ngos-ngosan ampe begitu? Di tengah jembatan gini kalo pingsan gimana??” (dalam hati) sambil melirik-lirik si bapak.
Bapak: “Masih jauh enggak?” masih sambil ngos-ngosan. Jangan-jangan bapaknya punya asma! 

Sumpah saya takut sekali jika si bapak itu tiba-tiba pingsan dan mengeluarkan busa-busa aneh dari mulutnya. *kebanyakan nonton teve

Saya: “Enggak kok, Pak! Tuh di depan!” sedikit memberikan semangat. Tapi kayaknya semangat itu tidak berpengaruh, karena si bapak malah berkata,
Bapak: “Kalo tahu begini, kita naik kendaraan aja tadi...”
Saya tertegun lalu berteriak dalam hati: “Woy, Pak! Kan saya tadi udah nanya! Mau jalan apa enggak! Gyaaaa....”

Saya sungguh merasa bersalah melihat kucuran keringat yang ada di dahinya *dasar saya golongan darah A. Ia mengelap berkali-keli menggunakan sapu tangan. Tiba-tiba entah mengapa, saya teringat bapak saya di rumah yang pekerjaannya adalah PNS juga. Jadi seragamnya mirip bapak walikota itu. Jangan-jangan, bapak saya juga kayak begitu. Tenaganya semakin menguap karena dimakan usia. Dalam waktu yang singkat itu, saya merenung. Di tempat kerjanya, bapak saya pasti juga berkeringat seperti itu. Atau bahkan lebih... Bayaran untuk tetes-tetes keringat itu bukan untuk siapa-siapa kan? Tentu saja untuk keluarga dan anak-anaknya. Huahua... Padahal saya sering melawannya. Ya Allah maafkan saya...

Saya: “Semangat, Pak! Olahraga Pak biar sehat, hehe.”
Bapak: “Ngos ngos ngos...”
Saya:   -___- *semakin merasa bersalah. Amat.

Akhirnya, kami tiba di depan auditorium. Di koridor, kami berdua dilihati oleh orang-orang. Gile, jalan sama birokrat walikota aja sudah kayak gitu. Apalagi sama presiden?? Yap. Salah satu yang melihati kami adalah dua orang pengisi stan sebuah bank *saya lupa bank apa, hehe. Tatapan mereka begitu hormat kepada kami berdua. Pasti gara-gara bapak walikota di samping saya. Bayangkan, satu memakai seragam birokrat PNS  dan satu lagi seragam panitia. Pasti dikira itu bapak adalah orang penting, kan? Saya tersenyum nyengir kepada mereka, agak tertawa di dalam hati, hehe. Akhirnya, sampai di depan meja pendaftaran ikhwan. Semua pada bingung, salah satunya Raniw. Tepat di belakang bapak itu, ia bertanya tanpa suara kepada saya.

Raniw: “Siapa? Siapa?” sambil menunjuk-nunjuk si bapak.
Saya: “Enggak tahu. Katanya dari walikota Depok...” sambil menaik-naikkan bahu.

Beberapa saat kemudian, bapak utusan walikota itu pun dibawa masuk ke dalam auditorium. Saya meminggirkan diri di pojok tangga, di depan tempat pendaftaran akhwat.

Saya: “Ngos ngos ngos...”

***

Selasa, 01 November 2011